Rss Feed
  1. Oleh:

    Sari Riantika Damayanti [2]


    I. Pendahuluan: Alternatif Konsepsi Frankfurt dalam Teori Kritis


    Secara konsep, analisa pemahaman terhadap dinamika masyarakat dan budaya termasuk dalam media massa dibingkai dalam pendekatan teori kritis.[3] Teori kritis sendiri telah lama muncul yakni sejak abad ke-5 SM. Ini ditandai dari adanya gerakan kaum sofis yang beranggapan bahwa untuk memahami sesuatu, khususnya yang berada dalam tataran praktis diperlukan pertimbangan terhadap berbagai rentetan pemikiran sosial sebelumnya bukan dengan pengetahuan semata (non-positivis).


    Teori ini juga disebut-sebut sebagai turunan dari pemikiran Marx. Meskipun di perjalanannya ada beberapa pihak yang mendebat jika teori kritis bukanlah teori marxis lagi.


    Teori ini juga ingin menyatakan: sebetulnya teori kritis ditujukan untuk emansipasi setiap orang, artinya setiap orang berhak memiliki kebebasan dalam hidupnya termasuk terbebas dari belenggu penghisapan (kapitalisme) dan penindasan (kekuasaan).


    Ini yang membuat teori kritis sepaham dengan pemikiran Karl Marx yang mendambakan terwujudnya masyarakat tanpa kelas. Namun sebaliknya konsep tersebut bertentangan dengan pemikiran mahzab Frankfrut.


    Seiring perkembangannya, definisi emansipasi mengalami perluasan. Aliran Utilitarian dan Aristotelian mendefinisikannya menjadi 2(dua) hal yang berbeda. Menurut Utilitarian: emansipasi adalah kondisi dimana seseorang mampu dan bebas menentukan kebahagiaannya. Sedangkan Aristotelian: emansipasi baru terjadi ketika seseorang mampu mengembangkan bakat dan kemampuannya.


    Kemudian, di tengah keinginannya menjadi konsep praktis, Mark Horkheimer, tokoh teori kritis aliran pertama, memandang bahwa teori kritis tidaklah dapat dipraktikkan. Sebab, ia hanya sekedar untuk memberikan tanggapan tentang fenomena sosial yang terjadi, bukan untuk kemudian dipraktekan atau diperjuangkan. Karena harapan dari teori kritis ini adalah agar manusia memiliki kerangka kritis dalam membulatkan suatu keputusan.


    II. Greek dan Locke: Kebahagiaan atau Pengembangan Kemampuan


    Teori kritis tidak menerima pandangan bahwa manusia melakukan tindakan atas dasar pemenuhan kepuasan dan kebahagiaan seperti yang disepakati oleh Socrates, Plato, dan banyak pencetus teori modern lainnya.


    Pendapat Socrates dan Plato ditolak mentah oleh Aristoteles. Ia menyebutkan bahwa seseorang akan menemukan kebahagiaannya jika ia menggunakan kemampuannya. Dalam konteks ini kemampuan yang dimaksud adalah kemampuan memilih apa yang ingin kita lakukan sekalipun bertentangan dengan alas an-alasan kuat lainnya. Kemudian, pendapat ini dikonfirmasi oleh Locke.


    Locke juga berpendapat bahwa ketika negara sudah tidak mampu menegakkan hukum dibandingkan institusi lain, maka negara akan kehilangan hak eksistensinya.


    III. Kant dan Hegel: Sejarah Sebagai physics of Society


    Kant menyebutkan bahwa sejarah akan menuntun kita pada jalan yang harus diikuti sebab ini adalah rencana alam. Bagi Kant, teknologi dipahami sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh publik dari pasar kapitalis.


    Dalam hal ini, teknologi memberikan kunci untuk memahami sejarah untuk meningkatkan usaha produksi dan memberikan peluang dalam peningkatan kemampuan kita serta membantu memecahkan masalah dasar dalam masyarakat.


    Sedangkan Hegel mengakui bahwa teknologi mempunyai kemampuan destruktif dalam aplikasinya di kehidupan.


    IV. Marx


    Marx beranggapan bahwa kontradiksi dalam pemikiran Hegel terletak antara kepentingan pemroduksi komoditas dengan konsumer komoditasnya dimana yang satu menggeser suatu nilai dan yg lain menggunakan nilai-nilai tersebut.


    Setiap individu memiliki kemampuan untuk terus produktif. Namun, produktifitas ini hendaknya dibatasi oleh regulator sehingga daya produksi bisa merata di antara kalangan kompetitor. Kemampuan ini merupakan suatu daya yang akan mendorong masyarakat untuk terus memanfaatkan kesempatannya.


    Mengikuti Aristoteles dan Locke, Marx sepakat bahwa kualitas moral dan perkembangan masyarakat bukanlah sesuatu yang dapat meningkatkan kebahagiaan tapi hanya sebatas meningkatkan kemampuan seseorang.


    V. Konten Teori Kritis dan Inti konsep Marxian


    Sketsa dari teori kritis ini adalah dengan mengidentifikasi masalah sosial antara bentuk yang diberikan dari kekuatan produktif untuk pengaturan dan kekuatan produktif yang peluang pengembangannya kurang.


    Masalah yang sulit diterima dari pendekatan Marxian yang pertama adalah pendekatan Marxian ini masih diperlukan pembuktian secara teori sosial scientific dan harus diakui terlibih dahulu dalam proporsi normatif. Kedua, pendekatan Marxian perlu untuk membuktikan bahwa ini tidak hanya sebagai tesis normative yang harus kita terima.


    Intinya adalah bahwa pendekatan marxis itu dapat merubah masyarakat dengan menciptakan peluang pengembangan kemampuan dan cocok untuk diaplikasikan dalam praktek nyata untuk menyelesaikan berbagai persoalan sosial yang terjadi saat ini.




    [1] Bahan bacaan diambil dari tulisan Ulrich Steinvorth dengan judul “On Critical Theory”. Dikerjakan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Media, Budaya, dan Masyarakat”. Semester Genap 2010/2011. Dosen: AG. Eka Wenats Wuryanta.

    [2] Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina. NIM: 209000056.

    [3] Diambil dari tulisan AG. Eka Wenats Wuryanta dengan judul “Teori Kritis: Media, Budaya, dan Masyarakat.


  2. 0 comments:

    Posting Komentar