Oleh:
Sari Riantika D
Dalam The Handbook of Politics oleh Kevin T. Leicht, dimunculkan istilah politik modern (modern politics) dimana aplikasi politik (kekuasaan) bersifat jauh lebih koersif dibandingkan negara (state). Politik diartikan sebagai kemampuan seorang aktor dalam posisinya (sebagai pemimpin) dan dengan apa yang dia punya mampu mempengaruhi seseorang untuk melaksanakan perintahnya meskipun dengan berbagai perlawanan. Sedangkan, dalam konteks negara, politik diartikan sebagai bentuk kegiatan mempertahankan atau menghilangkan kekuasaan.
Tidak hanya kekuasaan, seorang pemimpin hendaknya juga memiliki suatu otoritas sehingga dapat mempengaruhi seseorang tidak berdasarkan ketakutan (fear) akan tetapi pada rasa hormat (respect). Dan otoritas ini yang akan memunculkan suatu legitimasi. Kekuasaan juga dapat diabsahkan dalam banyak implikasi personal terutama pada kharisma pemimpin.
Dalam masyarakat postmodern, strategi politik mengalami peningkatan terhadap kesadaran pribadi (self conscious) mengenai pembentukan citra yang dimediasi oleh media. Sedangkan dalam masyarakat kontemporer, politik pembentukan citra, hubungan masyarakat dan periklanan merupakan hal yang paling mendasar dalam kehidupan sosial. Merujuk pada gagasan President bahwa kekuatan kharisma ddapat didesak oleh kekuatan ekonomi (expensive power) dan intelektual (strategically demanding). Dunia politik selalu dikuasai oleh elit sosial. Golongan elit ekonomi pun juga ikut serta dalam pengawasan suatu negara.
Globalisasi terhadap media dan perkembangan teknologi yang berkelanjutan telah menciptakan globalization possible serta merupakan era kebangkitan bagi kaum elit ekonomi dan politik di Asia Tenggara.
Asumsi bahwa industri media dan perannya dalam perubahan politik perlu ditinjau ulang secara berlawanan dengan latar belakang krisis ekonomi yang terjadi di Asia serta dampak dari serangan teroris 9/11. Dampak dari krisis ekonomi ini mempengaruhi setiap industri di Asia Tenggara termasuk industri media. Sebagian besar negara-negara kawasan Asia tenggara ini mampu bertahan di tengah krisis ekonomi ini dan bahkan berkembang seiring perkembangan masa. Hal ini mengharuskan banyak media massa yang gulung tikar akibatnya. Akan tetapi, media-media massa yang dapat bertahan melewati kondisi ini justru merupakan media yang mengalami perkembangan sangat pesat sehingga pada akhirnya dapat memicu media-media baru bermunculan kembali.
Informasi berada di bawah pengawasan pemerintah dan yang memiliki peran sentral dalam pembangunan bangsa. Namun sekarang muncul yang dinamakan media internasional yang asupan modal bersumber dari wilayah local. Sehingga ini mengekstensifikasi kecemasan Negara-negara Asia Tenggara yang tidak menginginkan adanya teori modernisasi dan arus media yang bebas. Hal ini kemudian menyebabkan kaum elit di Asia Tenggara menentang hadirnya media internasional. Dengan adanya informasi ekonomi secara global, perkembangan teknologi dan kesatuan ekonomi dunia menyebabkan media menjadi tidak lepas dari kehidupan sehari-hari.
Karena globalisasi, media terkontaminasi muatan yang mengandung unsure barat dan komersial (westernization and commercialization). Sehingga lembaga-lembaga masyarakat kemudian menyuarakan pertentangan terhadap ini dengan nasionalisme, regionalisme, lokalisme dan revivalisme. Sehingga budaya menjadi faktor penentu yang mengawasi keamanan nasional dan hubungan internasional.
0 comments:
Posting Komentar