Rss Feed
  1. 1.19.2012

    Eksploitasi Ruang Privat dalam Media Massa Indonesia: Perspektif Etika dan Regulasi Media[1]


    Oleh: Sari Riantika Damayanti / 209000056[2]


    Abstrak

    Dalam budaya media, ruang privat dan ruang publik sulit untuk dibedakan. Pada ranah privat biasanya secara emosional kita akan menggerutu atau menunjukkan perasaan tidak suka jikalau ruang privasi kita dibawa ke permukaan. Oleh sebab itu, pembahasan mengenai privasi juga merupakan agenda penting. Tulisan ini akan membahas tentang bagaimana media massa mengambil posisi dalam penyusunan atau pembuatan berita yang bersentuhan dengan ranah privasi seseorang seperti pada tayangan reality show dan atau infotainment dilihat dari perspektif etika dan regulasi media.


    INTRODUKSI

    "...Rossa masih saja tertutup soal gandengan barunya. Bukan hanya enggan menyebut nama, mantan istri Yoyo Padi ini juga lebih suka pergi beramai-ramai ketimbang berdua dengan calon suaminya..." dikutip dari portal berita wowkeren.com.

    Kutipan berita tersebut adalah salah satu penggalan berita di media massa yang bersinggungan dengan ranah privasi seseorang terutama sering terjadi pada tokoh masyarakat (public figure) seperti artis, pejabat pemerintah, dan orang terkenal. Berita semacam ini merupakan salah satu karakteristik berita dalam infotainment.

    Dalam kebanyakan kasus bahkan diperkeruh oleh bentrok antara wartawan dengan tokoh masyarakat yang dikejar beritanya. Hal tersebut menandakan bahwa permasalahan privasi merupakan hal serius yang harus diperhatikan oleh seluruh wartawan khususnya di Indonesia. Permasalahan ini dapat ditanggulangi dengan pembatasan area wartawan melalui regulasi dan etika media.

    Infotainment sebenarnya adalah tayangan televisi yang menyajikan sebuah informasi dalam bentuk hiburan. Akan tetapi, di Indonesia infotainment telah berubah dari tayangan informasi tentang dunia hiburan menjadi tayangan informasi mengenai kehidupan pribadi para artis di dunia hiburan. Nugroho (2005) menuturkan dalam bukunya yang berjudul "Infotainment", terlepas dari akar kelahirannya di Barat, dimana infotainment sebenarnya berarti informasi yang disajikan sebagai hiburan. Di Indonesia istilah tersebut sudah berubah arti menjadi informasi mengenai dunia hiburan yang kemudian lebih spesifik lagi menjadi informasi mengenai kehidupan pribadi para artis di dunia hiburan.

    Namun tidak hanya infotainment, eksploitasi ruang privat juga sering terjadi pada tayangan reality show di televisi. Format reality show yang makin beragam saat ini semakin mereduksi ranah kebebasan privasi masyarakat.

    Pada awalnya, reality show pertama kali diproduksi oleh stasiun televisi Amerika Serikat, yang kemudian diadaptasi oleh berbagai negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri fenomena reality show mulai merebak sejak sekitar tahun 2000. Mulai dari reality show pencarian bakat, seperti AFI (Akademi Fantasi Indosiar) yang ditayangkan di Indosiar, Indonesian Idol (RCTI), Idola Cilik ( RCTI), KDI (Kontes Dangdut TPI) yang disiarkan di TPI dan lain sebagainya, hingga bertema tentang percintaan seperti Kontak Jodoh (SCTV), Katakan Cinta (RCTI), Cinlok (SCTV), Playboy Kabel (SCTV), Pacar Pertama (SCTV), CLBK (SCTV) dan masih banyak lagi.

    Saat ini yang sedang menarik pemirsa televisi adalah reality show bertema kemiskinan seperti Jika Aku Menjadi (Trans TV), Minta Tolong (SCTV) atau Tangan Di Atas (Trans TV), serta penyelidikan kehidupan pribadi seseorang atau pencarian kerabat seperti Orang Ketiga (Trans TV) , Bukan Sinetron (Global TV), Masihkah Kau Mencintaiku (RCTI), Curhat bersama Anjasmara (TPI), Termehek-Mehek (Trans TV) dan sebagainya.

    Misalnya pada reality show Termehek-Mehek, program ini merupakan salah satu tayangan yang sangat potensial dalam mengeksploitasi ruang privasi orang lain yakni dengan format acara yang bertemakan masalah pribadi khususnya permasalahan rumah tangga atau hubungan pacaran seseorang. Lalu sejauh mana kebebasan privasi individu itu dibatasi atau dilindungi dalam media massa? Dan bagaimana pandangan berdasarkan etika dan regulasi media? Tulisan ini akan memaparkan fenomena media massa dalam mengusik ranah privasi orang lain misalnya dalam kasus reality show dan infotainment serta bagaimana kah etika dan regulasi media massa mengatur segala seuatu yang terkait dengan ranah privasi ini.


    PEMBAHASAN

    Jurnalisme dan Kebenaran

    Dalam masyarakat demokrasi yang kompleks, media menjalankan fungsi utama dalam mengatur arus informasi dan untuk menjangkau sesuatu yang tidak mereka jangkau seperti kebenaran, keakuratan, dan informasi yang berharga. Mereka juga menghalangi audiens mereka dari pembentukan intelektual.

    Pada dasarnya, kebenaran merupakan komoditas yang paling esensial dalam sebuah sistem demokrasi yang pada akhirnya akan melahirkan kepercayaan (trust). Kepercayaan ini merupakan sebuah tenaga penggerak bagi kehidupan sosial dan juga masyarakat sipil. Akan tetapi, berkebalikan dengan media yang merupakan dunia dengan kebenaran terbatas dan itu sebabnya hal ini harus ditopang dengan tanggung jawab atas hilangnya kemurnian informasi baik itu yang berupa kebenaran maupun kebohongan.

    Kebenaran adalah nilai yang paling fundamental yang dimulai dengan mengetahui makna dari oposisi binernya yakni kebohongan dan tipu daya. Tipu daya mengacu pada pesan komunikasi dirancang untuk menyesatkan orang lain, untuk membuat mereka percaya terhadap apa yang kita sendiri tidak percayai. Tipu daya tidak hanya berasal dari kata-kata tetapi juga dari perilaku, gestur, atau sikap diam sekalipun. Sedangkan kebohongan merupakan subkategori dari tipu daya dan menyangkut informasi yang salah dalam komunikasi bahwa komunikator mengetahui atau sengaja untuk berkata salah.

    Kant menyebutkan bahwa kebenaran adalah sebuah nilai universal yang harus dibawa untuk menyangga setiap kondisi, yang bagaimana pun juga adalah sebuah konsekuensi. Kebenaran adalah suatu hal yang esensial dalam proses demokrasi. Demokrasi bergantung pada sebuah informasi dari warga negara, salah satunya pendekatan politik dan ekonomi yang dipersenjatai oleh pengetahuan yang mengilhami kajian atau pertimbangan serius.

    Kebenaran dalam jurnalisme mempunyai tiga standar penting: pertama, cerita yang dilaporkan harus akurat, fakta harus diverifikasi terlebih dahulu berdasarkan bukti yang solid. Jika terdapat beberapa keraguan atau bantahan tentang fakta, hal itu pun juga harus dimunculkan kepada audiens. Kedua, sebuah kebenaran cerita harus memuat pemahaman. Waktu dan keterbatasan jarak menghalangi ketersediaannya sebuah pemahaman komprehensif terhadap situasi apapun. Cerita harus bermuatan informasi yang relevan yang bisa dimengerti oleh reader atau viewer paling tidak mengerti mengenai fakta atau konteks fakta yang disampaikan. Ketiga, kebenaran artikel harus menghasilkan pemahaman yang adil dan berimbang. Untuk menghindari bias, keadilan dan ke-berimbang-an mengharuskan jurnalis untuk memperkuat pemahaman khalayak terhadap isu.

    Jurnalisme dan Privasi

    Kerahasiaan pribadi atau dalam bahasa inggris yaitu privacy ialah kemampuan satu atau sekelompok individu untuk mempertahankan kehidupan dan urusan personalnya dari publik, atau untuk mengontrol arus informasi mengenai diri mereka. Privasi dapat dianggap sebagai suatu aspek dari keamanan.

    Mengapa nilai-nilai privasi ini penting? Alasannya adalah: pertama, kemampuan untuk menjaga kerahasiaan dari informasi personal yang merupakan karakteristik otonomi individual. Kedua, privasi dapat melindungi kita dari cacian dan hinaan oleh orang lain. Ketiga, privasi menghasilkan mekanisme dimana kita bisa mengendalikan reputasi kita. Ke empat, privasi bertindak sebagai pelindung melawan kekuatan pemerintah.

    Kemunculan konsep dari privasi ini disebutkan tidak memiliki akar sejarah yang jelas. Para antropolog mengatakan bahwa gagasan modern kita tentang privasi sudah ada sejak zaman masyarakat primitif dan kuno. Ini menyita waktu yang berabad-abad lamanya untuk menjadikan pembahasan mengenai privasi ini sebagai salah satu kajian yang harus diperhatikan, akan tetapi kita dapat menemukannya diapresiasi sekitar abad 17-an. Hingga pertengahan abad 20, belum ada hak legal untuk privasi di Amerika. Dari persetujuan bersama, gagasan kontemporer terhadap privasi sebagai konsep legal dimulai pada tahun 1890 dari sebuah publikasi artikel di Harvard Law Review. Dan kajian ini disinggung oleh 2(dua) orang pengacara, Samuel D. Warren dan Louis D. Brandeis, yang mengusung pengakuan legal terhadap hak orang untuk hidup mandiri. Disinggung atau dihina oleh koran gossip dan apa yang mereka lihat sebagai kekerasan atau pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan kesopanan, penulis mengajukan kerugian moneter bagi masyarakat yang telah menahan diri untuk mengetahui urusan orang lain dan keingintahuan yang besar terhadap sebuah tekanan akan kebebasan tanpa kendali dan tanpa sesal.

    Privasi dan para jurnalis memiliki beberapa area permasalahan yang spesial. Beberapa area ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi beberapa bidang yang permasalahan etis diantaranya: pemberitaan mengenai penyakit menular dan penyandang cacat, homoseksualita, kekerasan seksual, remaja pelaku kejahata, penggunaan anak-anak sebagai sumber, bunuh diri, kamera atau recorder tersembunyi, tragedi kecelakaan, jurnalisme data base dan komputer.

    Berbagai situasi yang beraneka ragam dimana perhatian kita terhadap privasi ini dapat menghalangi identifikasi terhadap kriteria spesifik yang akan menampung setiap kontingensi.Akan tetapi, terdapat sedikitnya 4(empat) nilai moral yang harus ada sebagai landasan etika bagi praktisi media, antara lain: pedoman pertama yaitu didasarkan pada gagasan untuk menghomati orang lain sebagaiman diri sendiri hendak dihormati. Nilai kedua yaitu kegunaan sosial (social utility). Agen moral harus memutuskan apa informasi yang esensial atau sedikitnya bermanfaat bagi khalayak dalam membantunya memahami pesan komunikasi. Prinsip yang ketiga adalah didasarkan pada gagasan keadilan dan yang terakhir dalam situasi pengambilan keputusan akan mungkin terjadi persinggungan yang dapat mengganngu orang laun atau membuat mereka tidak nyaman mengenai urusan pribadi mereka, sebagai agen moral hendaknya dapat berusaha untuk meminimalisasikan kemungkinan negative tersebut.

    Media dan Pelanggaran Ruang Privat

    Anggota Dewan Pers, Uni Lubis, menilai masalah privasi termasuk paling sering dilanggar oleh media massa dalam meliput peristiwa terkait korban kejahatan asusila. (Rahmat, 2012)

    Penggusuran nilai privasi yang dilakukan oleh media massa bukan fenomena yang satu atau dua kali terjadi. Kasus semacam ini bukan hanya terjadi di dalam negeri. Di Amerika serikat misalnya beberapa kasus pernah mencuat soal nilai privat oleh media. Tahun 2000, televisi NBC menyiarkan secara detil proses screening tes kanker payudara. Juga pada tahun yang sama, televisi ABC menyiarkan secara langsung seorang wanita menjalani persalinan. Media cetak pun tak mau ketinggalan, pada saat kasus Clinton mencuat, media di AS bahkan menjelaskan secara detil pengakuan sumber tentang penis sang presiden, bahkan dalam bentuknya ketika organ tersebut "in action".

    Menurut Louis Alvin Day dalam bukunya yang berjudul "Ethics in Media Communication (2006: 132), mengatakan bahwa invasi privasi oleh media meliputi spektrum yang luas, mulai dari reporter, hingga pengiklan. Pengiklan mengubah persoalan etik menjadi persoalan ekonomi. Dalam kondisi persaingan media yang semakin ketat, proses invasi tersebut merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Namuun demikian, tetap saja hal tersebut menimbulkan dilema antara media dan audiens.

    Setiap orang yang merasa hak privasinya dirampas oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab maka ia berhak untuk mengajukan gugatan yang dikenal dengan istilah Privacy Tort. Sebagai acuan untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran privasi dapat diidentifikasi dari catatan William Prosser pada tahun 1960 yang memaparkan hasil penelitiannya terhadap 300-an gugatan privasi yang terjadi. Pembagian dilakukan rosser atas bentuk umum peristiwa yang sering dijadikan dasar gugatan privasi terkait dengan media. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran privasi adalah sebagai berikut:

    1. Intrusion, yaitu tindakan mendatangi atau mengintervensi wilayah personal seseorang tanpa diundang atau tanpa ijin yang bersangkutan. Tindakan mendatangi dimaksud dapat berlangsung baik di properti pribadi maupun di luarnya.

    2. Public disclosure of embarassing private facts, yaitu penyebarluasan informasi atau fakta-fakta yang memalukan tentang diri seseorang. Penyebarluasan ini dapat dilakukan dengan tulisan atau narasi maupun gambar.

    3. Publicity which places someone false light in the public eye, yaitu publikasi yang mengelirukan pandangan orang banyak terhadap seseorang.

    4. Appropriation of name or likeness, yaitu penyalahgunaan nama atau kemiripan seseorang untuk kepentingan tertentu. Peristiwa ini lebih terkait pada tindakan pengambilan keuntungan sepihak atas ketenaran seorang selebritis. Nama atau kemiripan si selebritis dipublikasikan tanpa izin.

    Infotainment dan Reality show: Eksploitasi Ruang Privat

    Sejarah infotainment di Indonesia dalam keterangan salah seorang wartawan “Minggu Pagi” yaitu Bp A B Pras, dimulai pada tahun 1929. Pada tahun itu sudah terbit media yang menyajikan tulisan-tulisan tentang dunia film serta artis-artis, yaitu Doenia Film, Majalah ini terbit di Jakarta. Pemberitaan infotainment dalam era tersebut terus berkembang hingga sekarang, bahkan di era sekarang ini kita dapat melihat bermacam-macam infotainment baik dalam produk media cetak, maupun dalam media elektronik. Pemberitaan infotainment yang banyak dikupas oleh media massa yaitu diantaranya adalah kasus perceraian, kasus perselingkuhan, dan kasus-kasus yang lainnya yang ada dalam kehidupan pribadi para selebritis.

    Jika kita merujuk pada salah satu fungsi pers, maka banyak isi tayangan infotainment sangat bertentangan dengan nilai-nilai education (pendidikan). Jika masyarakat tidak siap bersikap dewasa dan menganggapnya sebagai sekadar bagian dari dunia hiburan, fenomena itu memang bisa berbahaya, sebab dari sanalah para remaja gampang menemukan contoh dan 'keteladanan' yang bersifat negatif. Melihat dari keterangan di atas, maka wartawan menjadi faktor terpenting dalam sebuah pemberitaan. Pemberitaan yang dilakukan oleh seorang wartawan memiliki aturan-aturan sendiri. Seperti halnya wartawan lain, wartawan infotainment juga memiliki aturan yang sama dengan wartawan umum lainnya. Kode etik juralisistik khususnya dalam organisasi Persatuan 35 Wartawan Indonesia (PWI), yang menyangkut tentang tata cara pemberitaan cukup banyak, yaitu dalam pasal 5, 6, 7, 8, dan 9, yang menyebutkan sebagai berikut :

    Pasal 5

    Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur-adukan fakta dan opini sendiri.Tulisan berisi interpretasi dan opini wartawan agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.

    Pasal 6

    Wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan berita, tulisan, atau gambar yang merugikan nama baik atau perasaan susila seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum.

    Pasal 7

    Wartawan Indonesia dalam pemberitaan peristiwa yang diduga menyangkut pelenggaran hukum dan atau proses peradilan harus menghormati asas praduga tak bersalah, prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang.

    Pasal 8

    Wartawan Indonesia dalam memberitakan kejahatan susila tidak menyebut nama dan identitas korban. Penyebutan nama dan identitas pelaku kejahatan yang masih dibawah umur, dilarang.

    Pasal 9

    Wartawan Indonesia menulis judul yang mencerminkan isi berita. Berita infotainment yang diperoleh seorang wartawan tidak boleh dicampur-adukkan antara fakta dan opini sendiri serta disajikan secara berimbang dan adil, hal ini sesuai dengan pasal 5 Kode etik Jurnalistik Wartawan Indonesia.

    Demikian juga halnya dengan program reality show yang banyak mengeksploitasi ruang privat individu, tidak hanya reality show termehek-mehek masih banyak deretan tayangan reality show yang lain yang sangat menonjolkan sisi tidak etis dari seseorang untuk dikomodifikasikan menjadi bahan tayangan misalnya reality show hiptotis Uya Emang Kuya yang berusaha membongkar ruang privat khalayak ke muka publik dengan cara menghipnotisnya.

    Etika Media Komunikasi

    Ketika kita berbicara mengenai etika media, kita difokuskan dengan standar etika dari pekerja media dan tindakan apa saja yang mereka ambil. Pada dasarnya, kebebasan berekspresi memang merupakan hak asasi, namun tidak lantas dilupakan bahwa secara turun-menurun manusia juga membawa nilai-nilai yang tetap harus dipertahankan untuk menjaga kelanggengan dalam relasi sosialnya. Apalagi dalam aktivitas bermedia yang lingkup khalayaknya lebih luas daripada sekedar hubungan interpersonal sehingga para pekerja media harus serius memperhatikan apa yang ditampilkan dan apa yang tidak dengan landasan etika yang selama ini dipegang.

    Satu hal yang harus diketahui bahwa etika adalah telaah tentang apa yang pantas kita lakukan. Etika harus diterapkan dalam aktivitas dan kebiasaan kita sehari-hari dan etika ini lahir dari dalam pribadi masing-masing individu walaupun hal ini berkaitan dengan relasi sosial antara kita dengan peraturan dan kebiasaan orang lain. Kesadaran terhadap etika merupakan hal penting selama ini mendorong orang untuk menghargai komitmen dan memikirkan tindakan alternatif. Pemahaman terhadap etika ini sendiri terkandung dalam dua pokok:

    1. Komunikator massa kebanyakan difokuskan dengan pengambilan isyarat-isyarat etika (ethical cues) dari masyarakat, dari teman sejawat dan dari komunitas, atau

    2. Komunikator massa dapat menekankan peningkatan etika personal dan kemudian menangguhkan prioritas komunitas memperkenalkan lingkup dari etika-etika media adalah sebuah cabang dari filsafat untuk membantu para jurnalis dan media publik lain menentukan bagaimana bertingkah laku dalam pekerjaan mereka. Ini harus diingat bahwa tanpa kebebasan dan kewarasan pikiran, etika tidak berarti apa-apa bagi seseorang dan mustahil untuk dianggap serius sebagai subjek kajian.

    Hukum dan etika media komunikasi merupakan peraturan perilaku formal yang dipaksakan oleh otoritas berdaulat, seperti pemerintah kepada rakyat atau warga negaranya.

    Dalam ranah media massa, ada beberapa regulasi yang mengatur penyelenggaraan dan pemanfaatan media massa. Selain undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang dibuat oleh lembaga legislatif ataupun pemerintah tersebut, perlu adanya pedoman berperilaku lain yang tidak memberi sanksi fisik, baik berupa penjara atau denda, namun lebih pada sanksi moral untuk mengatur manusia dalam berinteraksi dengan media yang memiliki aspek yang kompleks berupa etika.

    Etika adalah pedoman atau aturan moral untuk situasi-situasi dimana media memiliki efek negatif dan hukum tidak bisa menjaga tingkah laku. Kode etik kebanyakan diciptakan oleh organisasi profesional. Etika adalah peraturan moral yang menuntun tingkah laku seseorang. Para pendidik yang memainkan peran yang penting dalam menerapkan etika. Etika merupakan komponen yang penting dalam pendidikan jurnalisme.

    Di dalam jurnalisme terdapat beberapa etika yang harus dipatuhi yaitu akurasi, keadilan, kerahasiaan, privasi. Saat ini informasi yang disajikan oleh media telah berubah menjadi komoditi dan mimetisme. Berkat media, budaya baru telah terbentuk dan masyarakat telah berubah karenanya. Mengatasi keseimbangan antara tugas membimbing masyarakat lewat program-program yang disuguhkan kepada masyarakat dan pemenuhan tugas sebagai alat produksi ekonomi. Media pun membangun citra (image) sebagai kebutuhan masyarakat dan juga pencapai kebutuhan ekonomi baginya. Yang menjadi masalah yaitu sikap dari masyarakat yang tidak menunjukkan adanya perlawanan atas bentuk program yang ditawarkan oleh media sehingga media perlu membawa etika dan menerapkan dampak di dalam masyarakat yang harus dilindungi dan mengurangi adanya penyalahgunaan dari dampak negatif media itu sendiri.

    Jurnalis dan Kompetensi

    Segala sesuatu yang berkaitan dengan pemberitaan di media massa merupakan sumbangsih dari pekerja media yang dikenal dengan sebutan pers atau wartawan. Mereka mencari dan menyusun informasi yang didapat hingga mempunyai nilai berita. Untuk itu, pers mempunyai pengaruh yang hebat dalam masyarakat karena tindakannya bisa mempengaruhi opini publik. Oleh karenanya, kualitas wartawan sangat dibutuhkan yang pada akhirnya akan menentukan kualitas masyarakat juga sehingga kompetensi wartawan sangat diperlukan sebagai salah satu syarat peningkatan kualitas pemberitaan.

    Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam L. Batubara dalam diskusi “Standar Kompetensi Wartawan” di Pontianak pada awal Mei 2007 pernah mengatakan bahwa masyarakat yang cerdas terbentuk dari wartawan (baca juga: jurnalis) yang cerdas. Sementara itu, wartawan yang cerdas ada jika standar kompetensi wartawan tercapai. Berdasarkan Rumusan Dewan pers (Luwarso dan Gayatri, 2006) ada setidaknya tiga kategori kompetensi yang harus dipunyai seorang jurnalis antara lain:

    1. Kesadaran (awareness), yakni mencakup kesadaran tentang etika, hokum dan karir.

    2. Pengetahuan (knowledge), yakni mencakup pengetahuan umum dan pengetahuan khusus sesuai bidang kewartawanan yang bersangkutan.

    3. Keterampilan (skills), yakni mencakup keterampilan menulis, wawancara, riset, investigasi, menggunakan berbagai peralatan seperti computer, kamera, mesin scanned, faksimili, dan sebagainya.

    Berdasarkan yang dikemukakan The Poynter Institute, sebuah lembaga kajian media di Amerika, kompetensi jurnalis bisa digambarkan dalam sebuah bagan dengan nama “Piramida Kompetensi” sebagai berikut:

    Kesadaran yang dimaksud di sini adalah kesadaran yang harus dimiliki jurnalis dalam setiap tindakan jurnalistiknya itu akan dipengaruhi hukum, etika dan norma-norma artinya jurnalis juga memiliki batasan untuk mewujudkan profesionalitas kerja. Dalam kesadaran etika diharapkan perilaku jurnalis akan mengacu pada kode etik yang berlaku. Ini bisa dilakukan dengan banyak membaca referensi, studi kasus dan latihan membuat keputusan, serta menimba pengalaman dari wartawan senior dan pakar-pakar etika dan juga dengan mengamati perilaku etis dan tidak etis. Untuk meningkatkan kompetensi etik jurnalis Indonesia perlu mendalami Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), Kode Etik Organisasi-Organisasi Wartawan, dan Kode praktik dan perilaku perusahaan media. Dalam kesadaran hokum, seorang jurnalis juga harus berpegang teguh pada Undang-Undang Pokok Pers No. 40 Tahun 1999.

    Seorang jurnalis juga diharuskan memiliki kompetensi pengetahuan.baik pengetahuan umum, pengetahuan khusus hingga pengetahuan teknis serta memahami teori-teori jurnalistik dan komunikasi. Jurnalis juga diharuskan memiliki keterampilan seperti keterampilan reportase / peliputan, riset, penggunaan alat dan teknologi informasi serta mampu melakukan analisis dan menentukan arah pemberitaan.


    KESIMPULAN

    Batasan antara ruang privasi dan ruang publik seringkali dikaburkan oleh media massa. Mereka kerap menjadikan isu-isu pribadi seseorang menjadi isu kontemporer untuk dibincangkan oleh masyarakat luas. Padahal tiap-tiap individu memiliki hak kerahasiaan pribadi atau privasi yang juga dilindungi oleh negara.

    Gugatan untuk kasus pelanggaran privasi dapat dilakukan apabila problematika tersebut mencakup hal-hal berikut: mengintervensi wilayah personal, menyebarluaskan informasi memalukan, mempublikasikan pandangan yang keliru dan menyalahgunakan nama atau kemiripan untuk kepentingan tertentu.

    Media massa sebagai agen sosialisasi publik hendaknya memperhatikan hal sensitif ini dengan membekali para professional media dengan kompetensi antara lain kompetensi kesadaran, pengetahuan dan keterampilan. Dengan kesadaran, para jurnalis diharapkan menyadari dan berpegang teguh pada etika dan regulasi yang ada, mereka pun diharapkan untuk memiliki pengetahuan umum dan khusus yang mapan serta memahami teori-teori jurnalistik dan komunikasi serta memiliki keterampilan teknis. Apabila hal tersebut terpenuhi maka permasalahan mengenai privasi dan timpang tindih perilaku media massa dalam masyarakat bisa teredam dengan baik.



    [1] Tulisan ini adalah Tugas Mandiri yang dikerjakan penulis untuk memenuhi Ujian Akhir Semester Gasal Tahun Pelajaran 2011/2012 mata kuliah “Hukum dan Etika Media Massa” dalam program sarjana yang ditempuh penulis di peminatan Kajian media, Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina Jakarta. Dosen: Idham Holik.

    [2] Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina Jakarta.


  2. 0 comments:

    Posting Komentar