Sari Riantika Damayanti[2]
Pada Maret 1995 dihelat “Colloquy” -sebuah pertemuan asosiasi komunikasi internasional- yang membahas isu mengenai kajian budaya dalam komunikasi massa. Pertemuan ini menuai perdebatan antara kajian budaya dengan ekonomi politik oleh 4(empat) cendikiawan. Nicholas Garnham dan Lawrence Grossberg yang memperjuangkan kutub ekonomi politik dalam spektrum kajian budaya. Sementara Garnham Murdock pada kutub ekonomi politik dan James Carey pada kutub kajian budaya memiliki anggapan yang bertentangan satu sama lainnya.
Pertemuan ini dibuka dengan makalah yang berjudul “Political Economy and Cultural Studies: Reconciliation or Divorce?” oleh Garnham Murdock. Isu-isu yang diperdebatkan pun berada dalam koridor ini, apakah ekonomi politik dapat diintegrasikan dengan kajian budaya atau justru sebaliknya. Teori kritis mengenai ekonomi politik media direpresentasikan Garnham mengacu pada Adorno dan Innis serta dengan materialism budaya (cultural materialism) dari Raymond Williams, Richard Hoggart dan E.P Thompson.
Salah satu dari isu yang diangkat adalah kesadaran palsu (false consciousness). McRobbie, Hall dan Grossberg berkeberatan dengan teoritikus ekonomi politik dalam menggunakan kategori kesadaran palsu (false consciousness).
Dalam essaynya yang berjudul The Stars Down To Earth, Adorno memberi definisi kesadaran palsu ini bahwa berbagai macam perubahan telah tersebar di dunia ini dimana orang-orang tampak bertindak secara bertentangan dengan rasional dari pencapaian suatu kesenangan. Kesadaran palsu ini juga bisa dipahami sebagai gambaran suatu keadaan yang menekan kelompok untuk menyalahtafsirkan kondisi mereka akibat propaganda oleh kaum elit secara terus menerus. Oleh karena itu, Ben Agger mengatakan bahwa sebenarnya kapitalisme sesungguhnya dapat memperuncing eksistensi kesadaran palsu ini.
Grossberg menuliskan bahwa kajian budaya menolak anggapan bahwa manusia adalah tipuan budaya (cultural dupes) artinya mereka secara penuh dan pasif dimanipulasi oleh media dan kapitalisme. Mereka dibohongi atau percaya dengan suatu yang sebenarnya merupakan sebuah kebohongan, bahkan terkadang tahu bahwa mereka sedang dibohongi.
Hal ini sejalan dengan pemikiran Raymond William bahwa perputaran kelas (class) menjadi massa (mass) adalah pekerjaan kaum elit yang merampas kesadaran kelas pekerja yang umumnya disebut false conciousness.
Namun, Grossberg menentang anggapan ini. Apa yang grossberg maksud mengenai false conciousness dipahami sebagai bentuk penyimpangan dari kenyataan objektif, dia pun bersikeras untuk menampikkan anggapan para ahli ekonomi politik untuk hal ini.
Jika kedua pihak membatasi definisi false consciousness ini menjadi dominasi elit melalui persuasi dan indoktrinasi tanpa gagasan mengenai penyimpangan terhadap kebenaran objektif dan sebagainya, tentunya ini tidak akan menjadi perdebatan. Yang disayangkan dari diskusi ini adalah perdebatan seputar false consiousness seolah-olah menjadi sebuah maksud untuk menghindari diskusi terkait isu-isu nyata, kesenjangan dalam ontologi.
Isu kedua menekankan pada keselarasan antara kegiatan produksi dan resepsi. Mengacu pada Garnham, kajian budaya sekarang ini sedikit menaruh perhatian pada kegiatan produksi. Ketimpangan sekarang ini, dikatakannya sebagai konsekuensi dari 2 (dua) faktor yaitu: dimainkannya "politically into the hands of the right" penggunaan kekuasaan dan politik yang telah diagendakan termasuk memposisikan khalayak sebagai konsumen daripada sebagai produsen. Kedua, karena tingkat konsumsi masyarakat yang berlebihan.
Ketika ekonomi politik lemah dan kajian budaya kuat, Grossberg memandang hal ini sebagai akibat adanya dominasi dari celah yang diberikan publik kepadanya. Dengan kata lain, dalam proses resepsi dan konsumsi, ekonomi politik tidak begitu memperhatikan tujuan dimana false consciousness direpetisi secara berkala oleh kelompok elit.Garnham sepakat dengan pernyataan ini dan melengkapi cultural studies pada teori yang tidak sederhana lagi dari tekstualitas dan pada perluasan gagasan tentang dominasi dari kelas-kelas gender dan golongan.
Akhirnya, Grossberg mengambil kembali gagasan teorikus kajian budaya di Inggris pada aliran pertama yang menekankan pada the self production of culture, pembentukan budaya (oleh) sendiri, sementara dia menyatakan teoritikus ekonomi politik terlalu berlebihan memberi penekanan pada produksi komersial.
Dalam masyarakat kapitalis urusan ekonomi (base structure) terdapat dalam budaya (superstructure). Isu yang selanjutnya dibahas ialah tentang ilmu sosial vs kemanusiaan. Kajian media secara menyeluruh tampak mengintegrasikan seni/kemanusiaan (cultural studies) dengan ilmu sosial (political economy). Di lain pihak, Harold Innis menulis mengenai kategori budaya fundamental sebagai jarak dan waktu, yang sedang dan yang akan, budaya lokal dan budaya imperial, pengetahuan dan kekuasaan, tekanan sebagai instrumen budaya, literasi dan vernakuler, alasan instrumental dan mekanisasi pengetahuan atau monopoli pengetahuan. Di lain pihak seorang musisi, filsuf, dan teoritikus budaya, Adorno mengistilahkan culture industry untuk menjelaskan apa yang ia anggap sebagai budaya tinggi dan budaya rendah (high and low culture).
Tidak semua orang sepakat tentang integrasi dan reintegrasi ini sebagai suatu yang mungkin dan menarik. Namun terkadang diterima dengan catatan, misalnya ekonomi politik media yang berkembang adalah dari ilmu sosial abad ke 18 sementara kajian budaya diturunkan dari bidang kemanusiaan dari studi literer, estetik, filsafat, dan sejarah. Namun, seperti di tahun-tahun awal, Murdock mengindikasikan, kajian media tidak terlepas dari penyatuan ekonomi politik dan studi tentang budaya.
Dalam pengamatannya terhada peradaban kuno dan modern, Innis menghindari persoalan gagasan tentang kelas malahan mendiferensiasikannya antara pengawasan media dan pengetahuan. Adorno juga memilih untuk tidak memihak pada konsepsi tradisional mengenai kelas dan malahan mendiferensiasikannya antara hak-hak istimewa kaum elit dengan massa.
Pada akhirnya, colloquy atau musyawarah ini tidak menghasilkan suatu pendekatan yang menjadi pakemnya. Cultural studies tidak lah bisa disatukan dengan contemporary cultural materialism. Sebaliknya, menentukan pendekatan mana yang seharusnya digunakan adalah hal yang seharusnya ditunda karena masing-masing teori ini memiliki produksi kebenarannya masing-masing.
[1] Bahan bacaan diambil buku Babe, Robert T. yang berjudul Cultural Studies and Political Economy: Toward a New Integration hlm. 97-116. Dikerjakan untuk memenuhi tugas mata kuliah Media, Budaya dan Masyarakat. Dosen: AG. Eka Wenats Wuryanta.
[2] Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina. NIM: 209000056.
apakah marxis dan adorno memiliki pandangan yang sama dengan kajian - kajian budaya yang ada pada zamannya?
mohon informasinya bagi yang tahu, terimakasih