Sari Riantika Damayanti
Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina
Jakarta 2012
Abstrak
Makalah ini bertujuan untuk memberikan
deskripsi singkat mengenai situasi politik Indonesia pada era setelah reformasi
khususnya di masa kepemimpinan Gus Dur dengan fokus pengamatan terhadap
partisipasi politik masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia melalui analisa
surat kabar Guo Ji Ri Bao yang muncul sebagai koran pertama yang terbit pada
awal era reformasi yakni setelah diberikan dan diakuinya hak-hak warga Tionghoa
sebagai warga negara dan terus terbit hingga saat ini.
PENDAHULUAN
Historika
sistem perpolitikan Indonesia mengalami perjalanan yang sangat panjang.
Demokrasi yang melandasi perjalanan era reformasi menurut sebagian orang telah
menghasilkan kemajuan positif bagi
kebebasan sipil dalam memainkan aktivitas politik mereka. Walaupun di sisi
sebaliknya, setelah reformasi masyarakat disuguhkan oleh alur perpolitikan yang
tidak segaris dengan harapan agar agenda-agenda reformasi secepatnya bisa
diwujudkan dan berbagai terpaan krisis warisan Orde Baru dapat segera diakhiri.
Selama
32 tahun pemerintahan otoriter rezim Soeharto telah membuat kesan seolah-olah
keberhasilan pembangunan telah dicapai Indonesia selama ini. Padahal upaya
pemerintah tersebut telah menjadikan jiwa jutaan rakyat yang tidak berdosa
sebagai tumbal kekuasaan sebab pemerintahan dibangun dan dijalankan dengan cara
represif dan mengorbankan demokrasi. Ditambah lagi kenyataan bahwa yang
menikmati hasil pembangunan ini hanya para pejabat negara dan birokrat korup
bersama kroninya, para konglomerat jahat.
Situasi
keamanan dalam negeri sangat memprihatinkan. Berbagai konflik horisontal antar
etnis dan agama terus bergejolak seperti yang terjadi di Jawa (Situbondo,
Pekalongan, Rengasdengklok), Kalimantan Barat (Sanggau Ledo dan Sambas),
Kalimantan Tengah (Sampit), Sulawesi Tengah (Poso), Maluku (Ambon dan Maluku
Utara), Lombok (Mataram), NTT (Kupang), Papua Barat (Merauke) dan telah meminta
nyawa ratusan orang, ribuan orang menderita luka-luka dan puluhan ribu rumah,
toko serta tempat usaha lainnya hangus terbakar.[1]
Reformasi
yang dipelopori oleh mahasiswa yang kemudian diambil alih oleh kelompok elit
politik ternyata hanya bertujuan melengserkan presiden Soeharto tanpa
mereformasi sistem pemerintahan. Para birokrat di seluruh jajaran pemerintahan
masih tetap para birokrat lama yang didominasi oleh partai Golkar dengan
paradigma lamanya. Demikian juga dengan seluruh jajaran militer, walaupun para
pemimpin militer menyatakan telah melakukan reformasi dan mempunyai paradigma
baru, namun dalam kenyataannya masih tetap menggunakan cara-cara lama dalam
menyelesaikan masalah yaitu cara-cara militer yang penuh kekerasan.
Diskriminasi
rasial yang dilakukan oleh sebagian besar orang yang mempunyai akses politik
juga menjadikan warga peranakan atau etnis keturunan Tionghoa tercekal hak-hak
politiknya. Sejarah pergulatan hidup masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia ini merupakan sebuah rangkaian pengalaman
yang tak memihak kepada peruntungan nasib mereka.
Peristiwa kelam di masa lalu berpengaruh besar terhadap
kehidupan bagi masyarakat Tionghoa di masa kini. Walaupun rangkaian peristiwa
tersebut telah terlewati namun secara psikologis menimbulkan traumatik.
Pertama, peristiwa G-30-S ini terdapat trauma mendalam di kalangan warga
Tionghoa yang menyebabkan mereka selalu menghindari keterlibatan di bidang
politik. Orang Tionghoa dikhawatirkan menjadi “kuda troya” atau “koloni kelima”
RRC yang komunis dan sampai hari ini hal itu masih menakutkan, bahkan juga bagi
generasi muda tionghoa yang tidak tahu apa-apa mengenai politik masa lalu.
Terlebih lagi adanya sikap anti komunis yang sangat
tinggi di kalangan warga non tionghoa, baik sipil maupun militer. Itu sebabnya
warga Tionghoa tak banyak ditemukan pada profesi-profesi sebagai aktor politik
dan pemerintakan, mereka lebih banyak ditemukan pada bidang-bidang pekerjaan
yang terkait dengan ilmu alam (eksakta), ekonomi dan arsitektur.
Oleh karena itu, dalam makalah ini saya ingin mengetahui
bagaimana warga etnis minoritas yaitu Tionghoa mendapatkan hak-hak politiknya
misalnya dalam parlemen, pengambilan keputusan, maupun dalam pemilihan umum,
berekspresi, mengeluarkan pendapat dsb. Riset ini fokus pada telaah mengenai
bentuk interaksi atau pola hubungan antara pers dan masyarakat Tionghoa dengan
masyarakat asli dan juga kelompok pemangku kekuasaan (elit penguasa). Kemudian
melakukan telaah mengenai akibat dari interaksi ini terhadap pengaturan
demokrasi dalam masyarakat Indonesia pada masa sekarang.
Periode era di ambil pada masa pemerintahan Presiden
Abdurrahman Wahid yang dianggap menarik karena di era inilah warga Tionghoa
mulai diperhatikan sebagai warga negara sehingga Gus Dur dianggap sebagai
pahlawan masyarakat Tionghoa di Indonesia atas perjuangannya dalam memberikan
partisipasi bagi mereka baik di kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya yang
terus bergulir hingga saat ini dan sejarah kelam tentang pencekalan hak-hak
masyarakat Tionghoa pada masa sebelumnya memfasilitasi keinginan mereka untuk
mencapai kebebasan dalam kehidupan sosialnya sebagai warga keturunan. Studi
kasus difokuskan pada Surat Kabar Guo Ji Ri Bao yang muncul sebagai koran mandarin pada masa ini.
PEMBAHASAN
A. Awal Mula Kedatangan Masyarakat Tionghoa ke Indonesia
Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara
bergelombang sejak ribuan tahun lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka
beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia
dideklarasikan dan terbentuk. Pada abad ke-11, banyak pedagang Tionghoa yang
merantau dan berdagang di Asia Tenggara. Perantau Tionghoa itu kemudian menetap
di negara-negara yang mereka kunjungi, karena dilarang kembali ke negeri
leluhurnya.[2]
Tionghoa atau tionghwa adalah istilah yang dibuat sendiri
oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam
Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
Pada awalnya kata Cina yang digunakan sebagai istilah untuk menyebut negeri
Tiongok dan bangsanya. Akan tetapi menjelang abad ke-20, dengan bangkitnya
nasionalisme Cina, istilah itu mulai dianggap mengandung makna kurang baik oleh
kalangan orang Tionghoa itu sendiri.[3]
Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali
etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti
pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Kobaran
api menjilat Kota Batavia. Sekitar 100.000 warga Indonesia keturunan Cina tewas
dibantai oleh pemerintah kolonial Belanda.
Pembantaian di Batavia tersebut melahirkan gerakan perlawanan dari etnis
Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh
etnis Jawa.
Pada tahun 1960 terdapat program pribumisasi pemerintah
berdasarkan peraturan perundang-undangan (perpu) nomor 10 yang mengibiri
hak-hak warga Indonesia keturunan Tionghoa untuk berdagang pada tingkat
pedesaan dan sekitar 120.000 warga dipulangkan secara paksa ke RRC ataupun
negara-negara lainnya.
Kemudian pada tahun 1965 warga etnis Tionghoa ditangapi,
disikasa, bahkan dibunuh tanpa proses pengadilan atau prosedur yang jelas, atas
tuduhan komunisme. Di wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa, ribuan anak-anak
keturunan Cina yang ikut disekap di dalam kamp-kamp meninggal akibat kelaparan
dan kekurangan gizi.
Pada tahun 1967 Instruksi Presiden (inpres) nomor 14
tahun 1967 melarang segalanya yang serba Cina (Tionghoa) di Indonesia, termasuk
agama, kepercayaan, ekspresi seni, kebudayaan maupun sastra. Boleh dikatakan
inilah awal kesialan warga etnis Tionghoa pada zaman orde baru, yang sarat
diskriminasi, otoritarianisme, militerisme dan KKN-isme.
Sepanjang sejarah orde baru, kesialan tersebut semakin
berlipat-lipat dengan adanya karikatur-karikatur diskriminatif, pemberitaan-pemberitaan
atau penulisan-penulisan yang mengandung bias, maupun humor-humor pelesetan
yang kesemuanya menambah bahan bakar prasangka terhadap kaum minoritas ini.
Lebih lagi, melalui struktur penguasaan modal yang tidak
berimbang, yang merupakan bagian dari rancangan legitimasi orde baru, terjadi
penguasaan ekonomi sepihak oleh “cukong-cukong” Orde Baru yang dampaknya makin
mengalienisasi serta memojokkan kaum etnis Cina secara keseluruhan. Orang Cina
dianggap materialistis, serakah, asosial, tak peduli lingkungan dan banyak lagi
hal-hal yang terkesan negatif.
Selanjutnya di tahun 1998 terdapat sentimen antichinese yang telah bertahun-tahun
dipupuk dan sengaja dikembangkan di antara masyarakat berpuncak pada kerusuhan
rasial 14/15 Mei dan berakhir dengan penjarahan, penyiksaan dan pemerkosaan
massal terhadap warga etnis Tionghoa.
Lalu munculnya reformasi dan bergantinya tampuk
pemerintahan dari Soeharto ke B.J Habibie masih belum menunnjukkan perubahan
signifikan terkait hak kebebasan mereka. Baru setelah presiden Abdurrahman
Wahid naik menjadi presiden, beliau menghapus Inpres nomor 14 tahun 1967 dan
menggantinya dengan Keppres no. 6 tahun 2000. (Liem, 2000: 9-10)
B. Masyarakat Tionghoa dalam Partisipasi Politik Indonesia
Partisipasi merupakan keikutsertaan atau peran serta
dalam kegiatan tertentu.[4]
Sedangkan politik diartikan sebagai kemampuan seorang aktor dalam posisinya
(sebagai pemimpin) dan dengan apa yang dia punya mampu mempengaruhi seseorang
untuk melaksanakan perintahnya meskipun dengan berbagai perlawanan. Sedangkan,
dalam konteks negara, politik diartikan sebagai bentuk kegiatan mempertahankan
atau menghilangkan kekuasaan.[5]
Sehingga partisipasi politik dapat diartikan secara longgar sebagai aktivitas
warga negara pada proses pengambilan keputusan dalam bidang politik. Hal ini
termasuk mengenai aktivitas pemungutan suara (voting), pengajuan petisi, atau pemblokiran jalan. Partisipasi
politik ini merupakan sebuah tolok ukur bagi kualitas demokrasi.[6]
Partisipasi politik masyarakat etnis Tionghoa telah ada
bahkan dari sejak pemerintahan kolonial Belanda melalui organisasi Tionghoa
benama Sun Yat Sen dan bertujuan untuk menghapuskan perlakuan diskriminatif
terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan,
hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat
tinggal.[7]
Sedangkan pada masa revolusi atau pra-kemerdekaan RI
marjinalisasi warga Tionghoa tampak pada berita politik yang dimuat dalam media
massa seperti dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang dari kalangan
Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan. Salah seorang
yang dikenali ialah Tony Wen, yaitu orang yang terlibat dalam penurunan bendera
Belanda di Hotel Oranye Surabaya.
Pada Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik
Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok
Tjhan, dll. Bahkan Oei Tjoe Tat pernah diangkat sebagai salah satu “tangan
kanan” Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir.
Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa dapat dikatakan sangat
baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik yang
diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA
Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan
kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan
pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun
1965 dan lainnya.
Pemerintah orde baru, Soeharto (1966-1998) mempunyai
beberapa kebijakan eksplisit bagi kelompok-kelompok etnis melalui cara-cara
terselubung dan tidak langsung yang penyebarluasannya didukung oleh media dan
kaum intelektual, sehingga masyarakat non-etnis Indonesia menghindari beberapa
etnik yang disebutkan. Salah satu etnis minoritas adalah para imigran Cina yang
memiliki kisaran jumlah sekitar 3 (tiga) persen dari populasi.[8]
Pada 16 september 1998 Presiden B.J Habibie mengeluarkan
Inpres No. 26/1998 yang menghapuskan penggunaan istilah pribumi dan
non-pribumi, memberikan arahan agar semua pejabat pemerintah memberikan layanan
yang sama kepada setiap warga negara serta menginstruksikan dilakukan
peninjauan kembali dan penyelesaian seluruh produk hukum perundang-undangan,
kebijakan, program dan kegiatan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Selain
itu Presiden B.J Habibie juga mengeluarkan Inpres No. 4 tahun 1999 yang
menghapuskan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dan izin
perayaan tahun baru imlek sebagai Hari Nasional. Namun dalam keppresnya tidak
konsisten dengan penjelasan UUD 1945 dan pernyataannya ketika menjadi tamu
negara di RRT beberapa bulan sebelumnya.[9]
C. Kerusuhan Rasial Masyarakat Etnis Tionghoa
Kerusuhan-kerusuhan yang menimpa etnis Tionghoa antara
lain pembunuhan massal di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di
Bandung, 5 Agustus 1973 di Jakarta, Malari 1974 di Jakarta, Kerusuhan Mei 1998
di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Solo ,dll. serta berbagai
kerusuhan rasial lainnya. Adapun beberapa kasus kerusuhan rasial yang terjadi
antara lain :
(1). Bandung, 10 Mei 1963. Kerusuhan anti suku peranakan
Tionghoa terbesar di Jawa Barat. Awalnya, terjadi keributan di kampus Institut
Teknologi Bandung antara mahasiswa pribumi dan non-pribumi. Keributan berubah
menjadi kerusuhan yang menjalar ke mana-mana, bahkan ke kota-kota lain seperti
Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Medan.
(2). Pekalongan, 31 Desember 1972. Terjadi keributan
antara orang-orang Arab dan peranakan Tionghoa. Awalnya, perkelahian yang
berujung terbunuhnya seorang pemuda Tionghoa. Keributan terjadi saat acara
pemakaman.
(3). Palu, 27 Juni 1973. Sekelompok pemuda menghancurkan
toko Tionghoa. Kerusuhan muncul karena pemilik toko itu memakai kertas yang
bertuliskan huruf Arab sebagai pembungkus dagangan.
(4). Bandung, 5 Agustus 1973. Dimulai dari serempetan
sebuah gerobak dengan mobil yang berbuntut perkelahian. Kebetulan penumpang
mobil orang-orang Tionghoa. Akhirnya, kerusuhan meledak di mana-mana.
(5). Ujungpandang, April 1980. Suharti, seorang pembantu
rumah-tangga meninggal mendadak. Kemudian beredar desas-desus: Ia mati karena
dianiaya majikannya seorang Tionghoa. Kerusuhan rasial meledak. Ratusan rumah
dan toko milik suku peranakan Tionghoa dirusak.
(6). Medan, 12 April 1980. Sekelompok mahasiswa USU
bersepeda motor keliling kota, sambil memekikkan teriakan anti suku peranakan
Tionghoa. Kerusuhan itu bermula dari perkelahian.
(7). Solo, 20 November 1980. Kerusuhan melanda kota Solo
dan merembet ke kota-kota lain di Jawa Tengah. Bermula dari perkelahian pelajar
Sekolah Guru Olahraga, antara Pipit Supriyadi dan Kicak, seorang pemuda suku
peranakan Tionghoa. Perkelahian itu berubah menjadi perusakan dan pembakaran
toko-toko milik orang-orang TiongHoa.
(8). Surabaya, September 1986. Pembantu rumah tangga
dianiaya oleh majikannya suku peranakan Tionghoa. Kejadian itu memancing
kemarahan masyarakat Surabaya. Mereka melempari mobil dan toko-toko milik
orang-orang TiongHoa.
(9). Pekalongan, 24 November 1995. Yoe Sing Yung,
pedagang kelontong, menyobek kitab suci Alquran. Akibat ulah penderita gangguan
jiwa itu, masyarakat marah dan menghancurkan toko-toko milik orang-orang Tiong
Hoa.
(10). Bandung, 14 Januari 1996 Massa mengamuk seusai
pertunjukan musik Iwan Fals. Mereka melempari toko-toko milik orang-orang
TiongHoa. Pemicunya, mereka kecewa tak bisa masuk pertunjukan karena tak punya
karcis.
(11). Rengasdengklok, 30 Januari 1997 Mula-mula ada
seorang suku peranakan Tiong Hoa yang merasa terganggu suara beduk Subuh.
Percekcokan terjadi. Masyarakat mengamuk, menghancurkan rumah dan toko
TiongHoa.
(12). Ujungpandang, 15 September 1997 Benny Karre,
seorang keturunan Tiong Hoa dan pengidap penyakit jiwa, membacok seorang anak
pribumi, kerusuhan meledak, toko-toko TiongHoa dibakar dan dihancurkan.
(13). Februari 1998 Kraksaan, Donggala, Sumbawa, Flores,
Jatiwangi, Losari, Gebang, Pamanukan, Lombok, Rantauprapat, Aeknabara: Januari
– Anti Tionghua
(14). Kerusuhan Mei 1998 Salah satu contoh kerusuhan
rasial yang paling dikenang masyarakat Tionghoa Indonesia yaitu Kerusuhan Mei
1998.
Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan
perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa — terutama milik warga
Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di
Jakarta, Bandung, dan Solo. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang
diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian
bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam
kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang terbunuh,
terluka, mengalami pelecehan seksual, penderitaan fisik dan batin serta banyak
warga keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia.
Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia
belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama besar yang dianggap
provokator kerusuhan Mei 1998. Bahkan pemerintah mengeluarkan pernyataan
berkontradiksi dengan fakta yang sebenarnya yang terjadi dengan mengatakan sama
sekali tidak ada pemerkosaan massal terhadap wanita keturunan Tionghoa
disebabkan tidak ada bukti-bukti konkret tentang pemerkosaan tersebut.
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi
ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun demikian umumnya orang
setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia,
sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan
tindakan pembasmian orang-orang tersebut.
(15). 5-8 Mei 1998 Medan, Belawan, Pulobrayan,
Lubuk-Pakam, Perbaungan, Tebing-Tinggi, Pematang-Siantar, Tanjungmorawa,
Pantailabu, Galang, Pagarmerbau, Beringin, Batangkuis, Percut Sei Tuan:
Ketidakpuasan politik yang berkembang jadi anti Tionghoa.
(16). Jakarta, 13-14 Mei 1998 Kemarahan massa akibat
penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang dikembangkan oleh kelompok
politik tertentu jadi kerusuhan anti Cina. Peristiwa ini merupakan persitiwa
anti Cina paling besar sepanjang sejarah Republik Indonesia. Sejumlah perempuan
keturunan Tionghoa diperkosa.
(17). Solo, 14 Mei 1998 Ketidakpuasan politik yang
kemudian digerakkan oleh kelompok politik tertentu menjadi kerusuhan anti
Tionghua.
Namun, setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa
yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam
lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia.
D. Gus Dur dan Partisipasi Politik Masyarakat Tionghoa
Pemilu tahun 1999 menjadikan Gus Dur atau yang memiliki
nama lengkap Abdurrahman Wahid sebagai presiden terpilih untuk periode waktu
1999-2004. Namun, seiring berjalannya aktivitas pemerintahan ternyata Gus Dur
hanya mampu menjabat selama 642 hari saja, kurang dari 2 (dua) tahun.
Masa kepresidenan Gus Dur dimulai pada 20 Oktober 1999
dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Ia menjadi presiden
Republik Indonesia yang ke 4 (empat) setelah B.J Habibie. Kemudian tepat pada
23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah
mandatnya dicabut oleh MPR.
Dalam waktu kurang dari 2 (dua) tahun tentu tidak banyak
warisan-warisan politik yang ia tinggalkan. Akan tetapi perjuangannnya dalam
memberikan partisipasi bagi masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia baik di
kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya terus bergulir hingga saat ini.
Masyarakat Tionghoa yang selama ini dimarjinalkan dan dibatasi hak-haknya
terutama pada masa jabat presiden Soeharto menjadi sangat dihargai eksistensinya.
Gus Dur kemudian dianggap pahlawan masyarakat Tionghoa di Indonesia, hal ini
terkait dengan kebijakan otoriter dan represif atas ketotaliteran rezim Orde
Baru (1967-1998). Melalui Inpres No. 14/1967 yang subtansinya mengarah pada
pelarangan bentuk apa pun yang berbau Cina, mulai dari huruf, simbol, kesenian
(Barongsai dan Hong) sekaligus perayaaan Imlek. Semua itu dilarang
diekspresikan dalam bentuk apa pun di nusantara. Sehingga selama masa Orde
Baru, aktivitas kaum Tionghoa seolah-olah dibatasi, tidak hanya dalam merayakan
pesta agama tetapi juga partisipasi politik kelompok ini ditekan.Akibat
tindakan rasisme itulah, etnis Tionghoa sangat menginginkan hadirnya kebebasan
dalam kehidupan sosialnya sebagai warga negara keturunan.
Gus Dur mencabut Inpres itu karena bersifat
diskriminatif, padahal perlembagaan negara UUD 1945 menjamin perlindungan
terhadap semua warga. Setelah Gus Dur mencabut Inpres tersebut, Megawati
presiden selanjutnya mengeluarkan kepres No. 19/2002 yang isinya menjadikan
Imlek sebagai hari libur nasional. Keputusan tersebut akhirnya membuka peluang
bagi keturunan Tionghoa untuk dapat berkiprah di bidang politik, pemerintahan,
militer, dan lainnya.
Gus Dur membuka sebuah peluang akan adanya struktur baru
dalam masyarakat dengan menegaskan kembali bahwa Indonesia merupakan negara
dengan berbagai etnis dan budaya yang harusnya hidup berdampingan secara damai
tanpa ada pihak yang mengalami diskriminasi. Gus Dur telah berjuang memberikan
kebebasan pada kaum minoritas dan teguh dengan prinsip pluralitasnya.
Pergerakan dan pemikiran Gus Dur memberikan pengaruh yang
cukup besar bagi dunia. Gus Dur merupakan salah satu tokoh lintas agama yang
disegani oleh masyarakat dunia. Pengaruhnya tidak hanya terasa saat iamasih
hidup, tapi hingga akhir hidupnya pun masih terus tergambar.
E. Pers Tionghoa di Indonesia
Pers Indonesia Tionghoa diketahui muncul pada awal abad
20 dengan terbitnya surat kabar Li Po (1901) di Sukabumi, kemudian disusul oleh
Perniagaan, Warna Warta, Pewarta soerabaya, Ik Po, Sin Po, Keng Po, Sin tit Po
dan lain sebagainnya. Lalu, pada tahun-tahun berikutnya pers Indonesia-Tionghoa
mengalami kemajuan yang pesat sekali. Salah satu faktor penyebabnya adalah
timbulnya kesadaran politik yang dating dari daratan Tiongkok.
Pers Tionghoa yang timbul di Indonesia mula-mula
menggunakan bahasa Melayu-Betawi. Karena pada awal abad ke-20, orang Tionghoa
yang berusaha dalam dunia persuratkabaran hamper semua berlatar belakang
peranaan Tionghoa.
Sedangkan pada tahun 30-an isi pers Tionghoa bertambah
baik. Dengan berkobarnya perang melawan Jepang di Tiongkok, surat-surat kabar
Indonesia-Tionghoa juga dipenuhi dengan ulasan berita mengenai topic tersebut.
Sikap yang dianut surat kabar Indonesia Tionghoa itu tegas bahwa mereka anti
fasisme Jepang.
Secara ringkas, sebenarnya pers Tionghoa Indonesia selalu
mengikuti perkembangan pergerakan nasional seja permulaan dan tidak pernah
absen, sedangkan pers nasional Indonesia sering menghadapi banyak kesulitan
yang sengaja diciptakan pemerintah kolonial antara lain pemberangussan. Atas
dasar alasan itu surat kabar-surat kabar Indonesia Tionghoa menjadi salah satu
sumber penting untuk mengetahui perkembangan pergerakkan nasional
Indonesia. (Suryadinata, 2010: 3-17)
Pada era orde baru, pers Tionghoa tidak diperkenankan
menjalankan ativitas kewartaan mereka. Surat kabar yang didirikan oleh kelompok
etnis dan telah berdiri selama puluhan tahun pun terpaksa ditutup dan tidak
dibiarkan tumbuh lagi sampai dengan era kejatuhan orde baru. Setelah reformasi
tidak berdampak apa-apa bagi kebebasan ekspresi mereka, barulah setelah
pemerintahan Abdurrahman Wahid banyak media yang bermunculan sebab beliau
mengusung kebebasan kelompok etnis yang termarjinalkan ini sebagai tumpuan
politiknya pada saat ia naik sebagai presiden.
F. Surat Kabar Guo Ji Ri Bao sebagai Saluran Politik
Masyarakat Etnis Tionghoa
Guo Ji Ri Bao adalah koran harian Mandarin yang lahir
dari sebuah keinginan untuk membuka cakrawala baru bagi masyarakat Indonesia.
Terbelenggunya minat baca beberapa waktu lalu membuat tiga media dari tiga
negara, Guo Ji Ri Bao (LA-Amerika Serikat), Wen Wei Po (Hong Kong), dan Ren Min
RI Bao (China), tergugah untuk membuat koran berbahasa Mandarin di Indonesia.
Gabungan tiga media inilah yang dikenal dengan nama Guo Ji Ri Bao yang berarti International Daily News, yang mulai
beredar pada akhir tahun 2000. Yang kemudian dalam perkembangannya bergabung
dengan Jawa Pos Group.
Dengan menggunakan jaringan serta teknologi cetak jarak
jauh dari Jawa Pos, Koran Harian Mandarin Guo Ji dapat dicetak di empat kota
besar yaitu Jakarta, Surabaya, Medan dan Pontianak. Sehingga memastikan
ketersediaan koran Guo Ji untuk melengkapi sarapan pagi para pelanggan. Dengan
isi berita umum yang terus bertambah dan makin lengkap maka tidaklah
mengherankan Guo Ji mendapat sambutan hangat dari seluruh masyarakat. Sehingga
sampai dengan awal tahun 2007 lalu, data sirkulasi Guo Ji telah memiliki oplah
mendekati 60.000 eksemplar.
Harian Guo Ji Ri Bao ini disegmentasikan untuk kelompok
masyarakat etnis Tionghoa yang berada di Indonesia dan didistribusikan secara
nasional. Adapun kisaran usia pembaca surat kabar ini yakni sebanyak 6 % untuk
pembaca yang berusia 30 tahun kebawah, 27 % untuk pembaca pada usia 31– 40
tahun dan sebanyak 67% yang berusia 41 tahun ke atas.
Untuk tingat pendidikan sendiri sekitar 37% pembaca Guo Ji Ri Bao berlatar pendidikan SD
– SLTA, 20% untuk kalangan pelajar perguruan tinggi, dan non formal sebanyak
43% dengan latar belakang pekerjaan 5% bagi kalanyan karyawan atau pegawai,
Pelajar/ Mahasiswa : 11 %, Profesional/ Mahasiswa : 27 % dan Wiraswasta : 57 %.
Sedanglan bila dilihat dari jenis kelamin sebagian besar pembaca Guo Ji Ri Bao
adalah laki-laki yakni sebanyak 73% dan wanita sekitar 27%.
Menurut Bambang Suryono, pemimpin redaksi Guo ji Ri Bao,
Surat kabar ini sangat bisa menjadi wadah komunikasi serta tempat bertukar
pikiran dan informasi bagi komunitas Tionghoa di Indonesia sendiri sebagai
bentuk peningkatan partisipasi masyarakat Tionghoa ini di ranah publik. Sebab
selama 32 tahun masyarakat Chinese terisolasi,
tidak ada komunikasi baik antar regional maupun nasional sehingga kemunculan
Koran ini mampu meningkatkan kepercayaan diri mereka untuk tampil di muka umum
apalagi masu ke dalam ranah politik.
Untuk pendirian usaha penerbitannya pun tidak lagi
dipersulit, mereka hanya memiliki surat izin usaha seperti umumnya, tidak lagi
bersusah payah memiliki SIUP atau member sebagian saham kepada menteri
penerangan dan lain sebagainya.
Sama seperti koran nasional lainnya pemberitaan di Guo Ji
Ri Bao adalah isu-isu hangat domestik dan internasional baik politik, ekonomi,
sosial dan budaya atau pun olahraga. Akan tetapi lebih cenderung pemberitaan
untuk epentingan kelompok mereka misalkan acara-acara, tokoh-tokoh, informasi dan prestasi seputar
kalangan Tionghoa. Guo Ji berusaha untuk menjadi media massa yang memfasilitasi
publik untuk mendapatkan informasi yang ia butuhkan dengan menyajikan berita
se-obyektif mungkin, mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada
kepentingan rakyat banyak dan mendukung hal-hal positif pemerintah yang
bertujuan untuk kebaikan bersama.
Metode pengawasan pemerintah terhadap Koran ini pun tetap
ada melalui BIN (Badan Intelijen
Negara) segala bentuk kejurnalistikannya pun diamati agar tetap pada koridor
kode etik jurnalistik dan undang-undang.
KESIMPULAN
Eksistensi warga keturunan etnis Tionghoa mengalami
banyak pemasungan dalam sejarah perjalanannya sebagai warga Indonesia
keturunan. Maka, tak heran hal ini menimbulkan trauma yang mendalam bagi mereka
sehingga menjadi tidak punya cukup keberanian untuk tampil di muka publik
apalagi ranah politik. Mereka yang dari semula berwatak dagang terus menjaga
stabilitas kehidupan mereka. Tidak ada tekad untuk menggelorakan semangat
perjuangan untuk keluar dari belenggu ketidakbebasan. Pembunuhan terhadap etnis
Tionghoa pada 1740, terjadi aksi boikot pedagang Tionghoa di Surabaya,
kerusuhan anti Tionghoa di Kudus, masa revolusi pembunuhan massal etnis
Tionghoa (1946-1948), kampanye dan asi anti Tionghoa pasca G30S hingga peristiwa
rasialis 5 Agustus 1973 dan Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) pada 1974
menimbulkan bekas yang tak terlupakan dan akan selalu menjadi bahan analisis
kesejarahan.
Sejak dulu, orang Tionghoa pun secara popular digambarkan
sebagai tukang riba dan pedagang oleh orang Indonesia pribumi maupun oleh
penguasa Belanda. Di mata keduanya, orang Tionghoa cenderung untuk terlihat
sebagai suatu kelompok kaya dan konservatif yang menghalangi kemajuan golongan
pribumi.
Namun, sekitar tahun 2000 presiden Abd. Wahid membuka
keran-keran politik bagi mereka dengan mencabut Instruksi Presiden No. 14 Tahun
1967 tentang pelarangan ekspresi kebudayaan Cina di ruang publik berdasaran
Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 oleh presiden Gus Dur. Dengan itu, hak-hak
sebagai Negara dan kewenangan untuk berpartisipasi dalam ranah politik terbuka
lebar sejak pemerintahan Gus Dur.
Guo Ji Ri Bao adalah surat kabar nasional berbahasa
Mandarin yang berdiri setelah era reformasi. Ini menandai adanya partisipasi
politik kalangan etnis Tionghoa ini setelah pembatasan penuh pada era orde baru
(1967-1998). Guo Ji Ri Bao menjadi media yang efektif untuk meningkatkan
solidaritas komunitas Tionghoa dan memperekat mereka satu sama lain. Sama
seperti surat kabar lainnya konten berita yang disajikan oleh Guo Ji Ri Bao
berkisar tentang berita domestik dan internasional terkait masalah politik,
ekonomi, sosial, budaya atau olahraga.
Daftar Pustaka
Referensi Buku:
Coppel,
Charles A. 1994. Tionghoa Indonesia dalam
Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Kaid,
Lynda Lee dan Christina Holtz-Bacha. 2008. Encyclopedia
of Political Communication. USA: Sage Publication
Liem,
Yusie. 2000. Prasangka terhadap etnis
cina: sebuah Intisari. Jakarta: djambatan
Lih.
Kevin T. Leicht. 2010. Handbook of
Politics: State and Society in Global Perspective. USA: Springer
Mackerras,
Collin. 2003. Ethnicity in Asia.
London: Routledge Curzon
Setiono,
Benny G. 2003. Tionghoa dalam Pusaran
Politik. Jakarta: Elkasa
Surjomihardjo,
Abdurrachman dkk. 2002. Beberapa Segi
Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Kompas
Suryadinata,
Leo. 2010. Etnis Tionghoa dan
Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Kompas
Wibowo,
Ignatius dan Thung Ju Lan. 2010. Setelah
Air mata kering: Masyaraat Tionghoa pasca peristiwa mei 1998. Jakarta:
Kompas
Referensi Internet:
http://www.ujungpandangekspres.com/
http://www.guojiribao.com/
http://www.kamusbahasaindonesia.org/
Narasumber:
Bapak.
Bambang Sunyono, Pimpinan Redaksi Surat Kabar Guo Ji Ri Bao.
[1] Lih. Benny G. Setiono, 2003, “Tionghoa
dalam Pusaran Politik”, hlm. 1074
[2] Lih. Abdurrachman
Surjomihardjo, 2004, “Beberapa segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia”,
hlm. 44
[3] Lih. Leo Suryadinata,
2010, “Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia”, hlm. 193
[4] http://www.kamusbahasaindonesia.org/
[5] Lih. Kevin T. Leicht, 2010, “Handbook
of Politics: State and Society in Global Perspective”, hlm. 111
[6] Lih. Lynda Lee Kaid dan Christina Holtz-Bacha,2008, Encyclopedia of
Political Communication. Hlm. 532
[7] http://www.ujungpandangekspres.com/
[8] Lih. Colin Mackerras, 2003, “Ethnicity
in Asia”, hlm. 64
[9] Benny G. Setiono, Op.Cit., hlm.
1077
0 comments:
Posting Komentar