Rss Feed

  1. Sari Riantika Damayanti
    Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina
    Jakarta 2012



    Abstrak
    Makalah ini bertujuan untuk memberikan deskripsi singkat mengenai situasi politik Indonesia pada era setelah reformasi khususnya di masa kepemimpinan Gus Dur dengan fokus pengamatan terhadap partisipasi politik masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia melalui analisa surat kabar Guo Ji Ri Bao yang muncul sebagai koran pertama yang terbit pada awal era reformasi yakni setelah diberikan dan diakuinya hak-hak warga Tionghoa sebagai warga negara dan terus terbit hingga saat ini. 

    PENDAHULUAN
    Historika sistem perpolitikan Indonesia mengalami perjalanan yang sangat panjang. Demokrasi yang melandasi perjalanan era reformasi menurut sebagian orang telah menghasilkan kemajuan positif  bagi kebebasan sipil dalam memainkan aktivitas politik mereka. Walaupun di sisi sebaliknya, setelah reformasi masyarakat disuguhkan oleh alur perpolitikan yang tidak segaris dengan harapan agar agenda-agenda reformasi secepatnya bisa diwujudkan dan berbagai terpaan krisis warisan Orde Baru dapat segera diakhiri.
    Selama 32 tahun pemerintahan otoriter rezim Soeharto telah membuat kesan seolah-olah keberhasilan pembangunan telah dicapai Indonesia selama ini. Padahal upaya pemerintah tersebut telah menjadikan jiwa jutaan rakyat yang tidak berdosa sebagai tumbal kekuasaan sebab pemerintahan dibangun dan dijalankan dengan cara represif dan mengorbankan demokrasi. Ditambah lagi kenyataan bahwa yang menikmati hasil pembangunan ini hanya para pejabat negara dan birokrat korup bersama kroninya, para konglomerat jahat.
    Situasi keamanan dalam negeri sangat memprihatinkan. Berbagai konflik horisontal antar etnis dan agama terus bergejolak seperti yang terjadi di Jawa (Situbondo, Pekalongan, Rengasdengklok), Kalimantan Barat (Sanggau Ledo dan Sambas), Kalimantan Tengah (Sampit), Sulawesi Tengah (Poso), Maluku (Ambon dan Maluku Utara), Lombok (Mataram), NTT (Kupang), Papua Barat (Merauke) dan telah meminta nyawa ratusan orang, ribuan orang menderita luka-luka dan puluhan ribu rumah, toko serta tempat usaha lainnya hangus terbakar.[1]
    Reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa yang kemudian diambil alih oleh kelompok elit politik ternyata hanya bertujuan melengserkan presiden Soeharto tanpa mereformasi sistem pemerintahan. Para birokrat di seluruh jajaran pemerintahan masih tetap para birokrat lama yang didominasi oleh partai Golkar dengan paradigma lamanya. Demikian juga dengan seluruh jajaran militer, walaupun para pemimpin militer menyatakan telah melakukan reformasi dan mempunyai paradigma baru, namun dalam kenyataannya masih tetap menggunakan cara-cara lama dalam menyelesaikan masalah yaitu cara-cara militer yang penuh kekerasan.
    Diskriminasi rasial yang dilakukan oleh sebagian besar orang yang mempunyai akses politik juga menjadikan warga peranakan atau etnis keturunan Tionghoa tercekal hak-hak politiknya. Sejarah pergulatan hidup masyarakat keturunan Tionghoa di  Indonesia ini merupakan sebuah rangkaian pengalaman yang tak memihak kepada peruntungan nasib mereka.
    Peristiwa kelam di masa lalu berpengaruh besar terhadap kehidupan bagi masyarakat Tionghoa di masa kini. Walaupun rangkaian peristiwa tersebut telah terlewati namun secara psikologis menimbulkan traumatik. Pertama, peristiwa G-30-S ini terdapat trauma mendalam di kalangan warga Tionghoa yang menyebabkan mereka selalu menghindari keterlibatan di bidang politik. Orang Tionghoa dikhawatirkan menjadi “kuda troya” atau “koloni kelima” RRC yang komunis dan sampai hari ini hal itu masih menakutkan, bahkan juga bagi generasi muda tionghoa yang tidak tahu apa-apa mengenai politik masa lalu.
    Terlebih lagi adanya sikap anti komunis yang sangat tinggi di kalangan warga non tionghoa, baik sipil maupun militer. Itu sebabnya warga Tionghoa tak banyak ditemukan pada profesi-profesi sebagai aktor politik dan pemerintakan, mereka lebih banyak ditemukan pada bidang-bidang pekerjaan yang terkait dengan ilmu alam (eksakta), ekonomi dan arsitektur.  
    Oleh karena itu, dalam makalah ini saya ingin mengetahui bagaimana warga etnis minoritas yaitu Tionghoa mendapatkan hak-hak politiknya misalnya dalam parlemen, pengambilan keputusan, maupun dalam pemilihan umum, berekspresi, mengeluarkan pendapat dsb. Riset ini fokus pada telaah mengenai bentuk interaksi atau pola hubungan antara pers dan masyarakat Tionghoa dengan masyarakat asli dan juga kelompok pemangku kekuasaan (elit penguasa). Kemudian melakukan telaah mengenai akibat dari interaksi ini terhadap pengaturan demokrasi dalam masyarakat Indonesia pada masa sekarang.
    Periode era di ambil pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid yang dianggap menarik karena di era inilah warga Tionghoa mulai diperhatikan sebagai warga negara sehingga Gus Dur dianggap sebagai pahlawan masyarakat Tionghoa di Indonesia atas perjuangannya dalam memberikan partisipasi bagi mereka baik di kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya yang terus bergulir hingga saat ini dan sejarah kelam tentang pencekalan hak-hak masyarakat Tionghoa pada masa sebelumnya memfasilitasi keinginan mereka untuk mencapai kebebasan dalam kehidupan sosialnya sebagai warga keturunan. Studi kasus difokuskan pada Surat Kabar Guo Ji Ri Bao yang  muncul sebagai koran mandarin pada masa ini.

    PEMBAHASAN
    A. Awal Mula Kedatangan Masyarakat Tionghoa ke Indonesia
    Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Pada abad ke-11, banyak pedagang Tionghoa yang merantau dan berdagang di Asia Tenggara. Perantau Tionghoa itu kemudian menetap di negara-negara yang mereka kunjungi, karena dilarang kembali ke negeri leluhurnya.[2]
    Tionghoa atau tionghwa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa. Pada awalnya kata Cina yang digunakan sebagai istilah untuk menyebut negeri Tiongok dan bangsanya. Akan tetapi menjelang abad ke-20, dengan bangkitnya nasionalisme Cina, istilah itu mulai dianggap mengandung makna kurang baik oleh kalangan orang Tionghoa itu sendiri.[3]
    Dalam perjalanan sejarah pra kemerdekaan, beberapa kali etnis Tionghoa menjadi sasaran pembunuhan massal atau penjarahan, seperti pembantaian di Batavia 1740 dan pembantaian masa perang Jawa 1825-1830. Kobaran api menjilat Kota Batavia. Sekitar 100.000 warga Indonesia keturunan Cina tewas dibantai oleh pemerintah kolonial Belanda.  Pembantaian di Batavia tersebut melahirkan gerakan perlawanan dari etnis Tionghoa yang bergerak di beberapa kota di Jawa Tengah yang dibantu pula oleh etnis Jawa.
    Pada tahun 1960 terdapat program pribumisasi pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan (perpu) nomor 10 yang mengibiri hak-hak warga Indonesia keturunan Tionghoa untuk berdagang pada tingkat pedesaan dan sekitar 120.000 warga dipulangkan secara paksa ke RRC ataupun negara-negara lainnya.
    Kemudian pada tahun 1965 warga etnis Tionghoa ditangapi, disikasa, bahkan dibunuh tanpa proses pengadilan atau prosedur yang jelas, atas tuduhan komunisme. Di wilayah-wilayah di luar Pulau Jawa, ribuan anak-anak keturunan Cina yang ikut disekap di dalam kamp-kamp meninggal akibat kelaparan dan kekurangan gizi.
    Pada tahun 1967 Instruksi Presiden (inpres) nomor 14 tahun 1967 melarang segalanya yang serba Cina (Tionghoa) di Indonesia, termasuk agama, kepercayaan, ekspresi seni, kebudayaan maupun sastra. Boleh dikatakan inilah awal kesialan warga etnis Tionghoa pada zaman orde baru, yang sarat diskriminasi, otoritarianisme, militerisme dan KKN-isme.
    Sepanjang sejarah orde baru, kesialan tersebut semakin berlipat-lipat dengan adanya karikatur-karikatur diskriminatif, pemberitaan-pemberitaan atau penulisan-penulisan yang mengandung bias, maupun humor-humor pelesetan yang kesemuanya menambah bahan bakar prasangka terhadap kaum minoritas ini.
    Lebih lagi, melalui struktur penguasaan modal yang tidak berimbang, yang merupakan bagian dari rancangan legitimasi orde baru, terjadi penguasaan ekonomi sepihak oleh “cukong-cukong” Orde Baru yang dampaknya makin mengalienisasi serta memojokkan kaum etnis Cina secara keseluruhan. Orang Cina dianggap materialistis, serakah, asosial, tak peduli lingkungan dan banyak lagi hal-hal yang terkesan negatif.
    Selanjutnya di tahun 1998 terdapat sentimen antichinese yang telah bertahun-tahun dipupuk dan sengaja dikembangkan di antara masyarakat berpuncak pada kerusuhan rasial 14/15 Mei dan berakhir dengan penjarahan, penyiksaan dan pemerkosaan massal terhadap warga etnis Tionghoa.
    Lalu munculnya reformasi dan bergantinya tampuk pemerintahan dari Soeharto ke B.J Habibie masih belum menunnjukkan perubahan signifikan terkait hak kebebasan mereka. Baru setelah presiden Abdurrahman Wahid naik menjadi presiden, beliau menghapus Inpres nomor 14 tahun 1967 dan menggantinya dengan Keppres no. 6 tahun 2000. (Liem, 2000: 9-10)




    B. Masyarakat Tionghoa dalam Partisipasi Politik Indonesia
    Partisipasi merupakan keikutsertaan atau peran serta dalam kegiatan tertentu.[4] Sedangkan politik diartikan sebagai kemampuan seorang aktor dalam posisinya (sebagai pemimpin) dan dengan apa yang dia punya mampu mempengaruhi seseorang untuk melaksanakan perintahnya meskipun dengan berbagai perlawanan. Sedangkan, dalam konteks negara, politik diartikan sebagai bentuk kegiatan mempertahankan atau menghilangkan kekuasaan.[5] Sehingga partisipasi politik dapat diartikan secara longgar sebagai aktivitas warga negara pada proses pengambilan keputusan dalam bidang politik. Hal ini termasuk mengenai aktivitas pemungutan suara (voting), pengajuan petisi, atau pemblokiran jalan. Partisipasi politik ini merupakan sebuah tolok ukur bagi kualitas demokrasi.[6]
    Partisipasi politik masyarakat etnis Tionghoa telah ada bahkan dari sejak pemerintahan kolonial Belanda melalui organisasi Tionghoa benama Sun Yat Sen dan bertujuan untuk menghapuskan perlakuan diskriminatif terhadap orang-orang Tionghoa di Hindia Belanda dalam bidang pendidikan, hukum/peradilan, status sipil, beban pajak, hambatan bergerak dan bertempat tinggal.[7]
    Sedangkan pada masa revolusi atau pra-kemerdekaan RI marjinalisasi warga Tionghoa tampak pada berita politik yang dimuat dalam media massa seperti dalam perjuangan fisik ada beberapa pejuang dari kalangan Tionghoa, namun nama mereka tidak banyak dicatat dan diberitakan. Salah seorang yang dikenali ialah Tony Wen, yaitu orang yang terlibat dalam penurunan bendera Belanda di Hotel Oranye Surabaya.
    Pada Orde Lama, terdapat beberapa menteri Republik Indonesia dari keturunan Tionghoa seperti Oei Tjoe Tat, Ong Eng Die, Siauw Giok Tjhan, dll. Bahkan Oei Tjoe Tat pernah diangkat sebagai salah satu “tangan kanan” Ir. Soekarno pada masa Kabinet Dwikora. Pada masa ini hubungan Ir. Soekarno dengan beberapa tokoh dari kalangan Tionghoa dapat dikatakan sangat baik. Walau pada Orde Lama terdapat beberapa kebijakan politik yang diskriminatif seperti Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1959 yang melarang WNA Tionghoa untuk berdagang eceran di daerah di luar ibukota provinsi dan kabupaten. Hal ini menimbulkan dampak yang luas terhadap distribusi barang dan pada akhirnya menjadi salah satu sebab keterpurukan ekonomi menjelang tahun 1965 dan lainnya.
    Pemerintah orde baru, Soeharto (1966-1998) mempunyai beberapa kebijakan eksplisit bagi kelompok-kelompok etnis melalui cara-cara terselubung dan tidak langsung yang penyebarluasannya didukung oleh media dan kaum intelektual, sehingga masyarakat non-etnis Indonesia menghindari beberapa etnik yang disebutkan. Salah satu etnis minoritas adalah para imigran Cina yang memiliki kisaran jumlah sekitar 3 (tiga) persen dari populasi.[8]
    Pada 16 september 1998 Presiden B.J Habibie mengeluarkan Inpres No. 26/1998 yang menghapuskan penggunaan istilah pribumi dan non-pribumi, memberikan arahan agar semua pejabat pemerintah memberikan layanan yang sama kepada setiap warga negara serta menginstruksikan dilakukan peninjauan kembali dan penyelesaian seluruh produk hukum perundang-undangan, kebijakan, program dan kegiatan yang telah ditetapkan dan dilaksanakan. Selain itu Presiden B.J Habibie juga mengeluarkan Inpres No. 4 tahun 1999 yang menghapuskan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) dan izin perayaan tahun baru imlek sebagai Hari Nasional. Namun dalam keppresnya tidak konsisten dengan penjelasan UUD 1945 dan pernyataannya ketika menjadi tamu negara di RRT beberapa bulan sebelumnya.[9]

    C. Kerusuhan Rasial Masyarakat Etnis Tionghoa
    Kerusuhan-kerusuhan yang menimpa etnis Tionghoa antara lain pembunuhan massal di Jawa 1946-1948, peristiwa rasialis 10 Mei 1963 di Bandung, 5 Agustus 1973 di Jakarta, Malari 1974 di Jakarta, Kerusuhan Mei 1998 di beberapa kota besar seperti Jakarta, Medan, Bandung, Solo ,dll. serta berbagai kerusuhan rasial lainnya. Adapun beberapa kasus kerusuhan rasial yang terjadi antara lain :
    (1). Bandung, 10 Mei 1963. Kerusuhan anti suku peranakan Tionghoa terbesar di Jawa Barat. Awalnya, terjadi keributan di kampus Institut Teknologi Bandung antara mahasiswa pribumi dan non-pribumi. Keributan berubah menjadi kerusuhan yang menjalar ke mana-mana, bahkan ke kota-kota lain seperti Yogyakarta, Malang, Surabaya, dan Medan.
    (2). Pekalongan, 31 Desember 1972. Terjadi keributan antara orang-orang Arab dan peranakan Tionghoa. Awalnya, perkelahian yang berujung terbunuhnya seorang pemuda Tionghoa. Keributan terjadi saat acara pemakaman.
    (3). Palu, 27 Juni 1973. Sekelompok pemuda menghancurkan toko Tionghoa. Kerusuhan muncul karena pemilik toko itu memakai kertas yang bertuliskan huruf Arab sebagai pembungkus dagangan.
    (4). Bandung, 5 Agustus 1973. Dimulai dari serempetan sebuah gerobak dengan mobil yang berbuntut perkelahian. Kebetulan penumpang mobil orang-orang Tionghoa. Akhirnya, kerusuhan meledak di mana-mana.
    (5). Ujungpandang, April 1980. Suharti, seorang pembantu rumah-tangga meninggal mendadak. Kemudian beredar desas-desus: Ia mati karena dianiaya majikannya seorang Tionghoa. Kerusuhan rasial meledak. Ratusan rumah dan toko milik suku peranakan Tionghoa dirusak.
    (6). Medan, 12 April 1980. Sekelompok mahasiswa USU bersepeda motor keliling kota, sambil memekikkan teriakan anti suku peranakan Tionghoa. Kerusuhan itu bermula dari perkelahian.
    (7). Solo, 20 November 1980. Kerusuhan melanda kota Solo dan merembet ke kota-kota lain di Jawa Tengah. Bermula dari perkelahian pelajar Sekolah Guru Olahraga, antara Pipit Supriyadi dan Kicak, seorang pemuda suku peranakan Tionghoa. Perkelahian itu berubah menjadi perusakan dan pembakaran toko-toko milik orang-orang TiongHoa.
    (8). Surabaya, September 1986. Pembantu rumah tangga dianiaya oleh majikannya suku peranakan Tionghoa. Kejadian itu memancing kemarahan masyarakat Surabaya. Mereka melempari mobil dan toko-toko milik orang-orang TiongHoa.
    (9). Pekalongan, 24 November 1995. Yoe Sing Yung, pedagang kelontong, menyobek kitab suci Alquran. Akibat ulah penderita gangguan jiwa itu, masyarakat marah dan menghancurkan toko-toko milik orang-orang Tiong Hoa.
    (10). Bandung, 14 Januari 1996 Massa mengamuk seusai pertunjukan musik Iwan Fals. Mereka melempari toko-toko milik orang-orang TiongHoa. Pemicunya, mereka kecewa tak bisa masuk pertunjukan karena tak punya karcis.
    (11). Rengasdengklok, 30 Januari 1997 Mula-mula ada seorang suku peranakan Tiong Hoa yang merasa terganggu suara beduk Subuh. Percekcokan terjadi. Masyarakat mengamuk, menghancurkan rumah dan toko TiongHoa.
    (12). Ujungpandang, 15 September 1997 Benny Karre, seorang keturunan Tiong Hoa dan pengidap penyakit jiwa, membacok seorang anak pribumi, kerusuhan meledak, toko-toko TiongHoa dibakar dan dihancurkan.
    (13). Februari 1998 Kraksaan, Donggala, Sumbawa, Flores, Jatiwangi, Losari, Gebang, Pamanukan, Lombok, Rantauprapat, Aeknabara: Januari – Anti Tionghua
    (14). Kerusuhan Mei 1998 Salah satu contoh kerusuhan rasial yang paling dikenang masyarakat Tionghoa Indonesia yaitu Kerusuhan Mei 1998.
    Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa — terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Solo. Terdapat ratusan wanita keturunan Tionghoa yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang terbunuh, terluka, mengalami pelecehan seksual, penderitaan fisik dan batin serta banyak warga keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia.
    Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama besar yang dianggap provokator kerusuhan Mei 1998. Bahkan pemerintah mengeluarkan pernyataan berkontradiksi dengan fakta yang sebenarnya yang terjadi dengan mengatakan sama sekali tidak ada pemerkosaan massal terhadap wanita keturunan Tionghoa disebabkan tidak ada bukti-bukti konkret tentang pemerkosaan tersebut.
    Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun demikian umumnya orang setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian orang-orang tersebut.
    (15). 5-8 Mei 1998 Medan, Belawan, Pulobrayan, Lubuk-Pakam, Perbaungan, Tebing-Tinggi, Pematang-Siantar, Tanjungmorawa, Pantailabu, Galang, Pagarmerbau, Beringin, Batangkuis, Percut Sei Tuan: Ketidakpuasan politik yang berkembang jadi anti Tionghoa.
    (16). Jakarta, 13-14 Mei 1998 Kemarahan massa akibat penembakan mahasiswa Universitas Trisakti yang dikembangkan oleh kelompok politik tertentu jadi kerusuhan anti Cina. Peristiwa ini merupakan persitiwa anti Cina paling besar sepanjang sejarah Republik Indonesia. Sejumlah perempuan keturunan Tionghoa diperkosa.
    (17). Solo, 14 Mei 1998 Ketidakpuasan politik yang kemudian digerakkan oleh kelompok politik tertentu menjadi kerusuhan anti Tionghua.
    Namun, setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, sesuai Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.





    D. Gus Dur dan Partisipasi Politik Masyarakat Tionghoa
    Pemilu tahun 1999 menjadikan Gus Dur atau yang memiliki nama lengkap Abdurrahman Wahid sebagai presiden terpilih untuk periode waktu 1999-2004. Namun, seiring berjalannya aktivitas pemerintahan ternyata Gus Dur hanya mampu menjabat selama 642 hari saja, kurang dari 2 (dua) tahun.
    Masa kepresidenan Gus Dur dimulai pada 20 Oktober 1999 dan berakhir pada Sidang Istimewa MPR pada tahun 2001. Ia menjadi presiden Republik Indonesia yang ke 4 (empat) setelah B.J Habibie. Kemudian tepat pada 23 Juli 2001, kepemimpinannya digantikan oleh Megawati Soekarnoputri setelah mandatnya dicabut oleh MPR.
    Dalam waktu kurang dari 2 (dua) tahun tentu tidak banyak warisan-warisan politik yang ia tinggalkan. Akan tetapi perjuangannnya dalam memberikan partisipasi bagi masyarakat etnis Tionghoa di Indonesia baik di kehidupan ekonomi, politik, sosial budaya terus bergulir hingga saat ini. Masyarakat Tionghoa yang selama ini dimarjinalkan dan dibatasi hak-haknya terutama pada masa jabat presiden Soeharto menjadi sangat dihargai eksistensinya. Gus Dur kemudian dianggap pahlawan masyarakat Tionghoa di Indonesia, hal ini terkait dengan kebijakan otoriter dan represif atas ketotaliteran rezim Orde Baru (1967-1998). Melalui Inpres No. 14/1967 yang subtansinya mengarah pada pelarangan bentuk apa pun yang berbau Cina, mulai dari huruf, simbol, kesenian (Barongsai dan Hong) sekaligus perayaaan Imlek. Semua itu dilarang diekspresikan dalam bentuk apa pun di nusantara. Sehingga selama masa Orde Baru, aktivitas kaum Tionghoa seolah-olah dibatasi, tidak hanya dalam merayakan pesta agama tetapi juga partisipasi politik kelompok ini ditekan.Akibat tindakan rasisme itulah, etnis Tionghoa sangat menginginkan hadirnya kebebasan dalam kehidupan sosialnya sebagai warga negara keturunan.
    Gus Dur mencabut Inpres itu karena bersifat diskriminatif, padahal perlembagaan negara UUD 1945 menjamin perlindungan terhadap semua warga. Setelah Gus Dur mencabut Inpres tersebut, Megawati presiden selanjutnya mengeluarkan kepres No. 19/2002 yang isinya menjadikan Imlek sebagai hari libur nasional. Keputusan tersebut akhirnya membuka peluang bagi keturunan Tionghoa untuk dapat berkiprah di bidang politik, pemerintahan, militer, dan lainnya.
    Gus Dur membuka sebuah peluang akan adanya struktur baru dalam masyarakat dengan menegaskan kembali bahwa Indonesia merupakan negara dengan berbagai etnis dan budaya yang harusnya hidup berdampingan secara damai tanpa ada pihak yang mengalami diskriminasi. Gus Dur telah berjuang memberikan kebebasan pada kaum minoritas dan teguh dengan prinsip pluralitasnya.
    Pergerakan dan pemikiran Gus Dur memberikan pengaruh yang cukup besar bagi dunia. Gus Dur merupakan salah satu tokoh lintas agama yang disegani oleh masyarakat dunia. Pengaruhnya tidak hanya terasa saat iamasih hidup, tapi hingga akhir hidupnya pun masih terus tergambar.

    E. Pers Tionghoa di Indonesia
    Pers Indonesia Tionghoa diketahui muncul pada awal abad 20 dengan terbitnya surat kabar Li Po (1901) di Sukabumi, kemudian disusul oleh Perniagaan, Warna Warta, Pewarta soerabaya, Ik Po, Sin Po, Keng Po, Sin tit Po dan lain sebagainnya. Lalu, pada tahun-tahun berikutnya pers Indonesia-Tionghoa mengalami kemajuan yang pesat sekali. Salah satu faktor penyebabnya adalah timbulnya kesadaran politik yang dating dari daratan Tiongkok.
    Pers Tionghoa yang timbul di Indonesia mula-mula menggunakan bahasa Melayu-Betawi. Karena pada awal abad ke-20, orang Tionghoa yang berusaha dalam dunia persuratkabaran hamper semua berlatar belakang peranaan Tionghoa.
    Sedangkan pada tahun 30-an isi pers Tionghoa bertambah baik. Dengan berkobarnya perang melawan Jepang di Tiongkok, surat-surat kabar Indonesia-Tionghoa juga dipenuhi dengan ulasan berita mengenai topic tersebut. Sikap yang dianut surat kabar Indonesia Tionghoa itu tegas bahwa mereka anti fasisme Jepang.
    Secara ringkas, sebenarnya pers Tionghoa Indonesia selalu mengikuti perkembangan pergerakan nasional seja permulaan dan tidak pernah absen, sedangkan pers nasional Indonesia sering menghadapi banyak kesulitan yang sengaja diciptakan pemerintah kolonial antara lain pemberangussan. Atas dasar alasan itu surat kabar-surat kabar Indonesia Tionghoa menjadi salah satu sumber penting untuk mengetahui perkembangan pergerakkan nasional Indonesia.  (Suryadinata, 2010: 3-17)
    Pada era orde baru, pers Tionghoa tidak diperkenankan menjalankan ativitas kewartaan mereka. Surat kabar yang didirikan oleh kelompok etnis dan telah berdiri selama puluhan tahun pun terpaksa ditutup dan tidak dibiarkan tumbuh lagi sampai dengan era kejatuhan orde baru. Setelah reformasi tidak berdampak apa-apa bagi kebebasan ekspresi mereka, barulah setelah pemerintahan Abdurrahman Wahid banyak media yang bermunculan sebab beliau mengusung kebebasan kelompok etnis yang termarjinalkan ini sebagai tumpuan politiknya pada saat ia naik sebagai presiden.



    F. Surat Kabar Guo Ji Ri Bao sebagai Saluran Politik Masyarakat Etnis Tionghoa
    Guo Ji Ri Bao adalah koran harian Mandarin yang lahir dari sebuah keinginan untuk membuka cakrawala baru bagi masyarakat Indonesia. Terbelenggunya minat baca beberapa waktu lalu membuat tiga media dari tiga negara, Guo Ji Ri Bao (LA-Amerika Serikat), Wen Wei Po (Hong Kong), dan Ren Min RI Bao (China), tergugah untuk membuat koran berbahasa Mandarin di Indonesia. Gabungan tiga media inilah yang dikenal dengan nama Guo Ji Ri Bao yang berarti International Daily News, yang mulai beredar pada akhir tahun 2000. Yang kemudian dalam perkembangannya bergabung dengan Jawa Pos Group.
    Dengan menggunakan jaringan serta teknologi cetak jarak jauh dari Jawa Pos, Koran Harian Mandarin Guo Ji dapat dicetak di empat kota besar yaitu Jakarta, Surabaya, Medan dan Pontianak. Sehingga memastikan ketersediaan koran Guo Ji untuk melengkapi sarapan pagi para pelanggan. Dengan isi berita umum yang terus bertambah dan makin lengkap maka tidaklah mengherankan Guo Ji mendapat sambutan hangat dari seluruh masyarakat. Sehingga sampai dengan awal tahun 2007 lalu, data sirkulasi Guo Ji telah memiliki oplah mendekati 60.000 eksemplar.
    Harian Guo Ji Ri Bao ini disegmentasikan untuk kelompok masyarakat etnis Tionghoa yang berada di Indonesia dan didistribusikan secara nasional. Adapun kisaran usia pembaca surat kabar ini yakni sebanyak 6 % untuk pembaca yang berusia 30 tahun kebawah, 27 % untuk pembaca pada usia 31– 40 tahun dan sebanyak 67% yang berusia 41 tahun ke atas.
    Untuk tingat pendidikan sendiri sekitar 37%  pembaca Guo Ji Ri Bao berlatar pendidikan SD – SLTA, 20% untuk kalangan pelajar perguruan tinggi, dan non formal sebanyak 43% dengan latar belakang pekerjaan 5% bagi kalanyan karyawan atau pegawai, Pelajar/ Mahasiswa : 11 %, Profesional/ Mahasiswa : 27 % dan Wiraswasta : 57 %. Sedanglan bila dilihat dari jenis kelamin sebagian besar pembaca Guo Ji Ri Bao adalah laki-laki yakni sebanyak 73% dan wanita sekitar 27%.
    Menurut Bambang Suryono, pemimpin redaksi Guo ji Ri Bao, Surat kabar ini sangat bisa menjadi wadah komunikasi serta tempat bertukar pikiran dan informasi bagi komunitas Tionghoa di Indonesia sendiri sebagai bentuk peningkatan partisipasi masyarakat Tionghoa ini di ranah publik. Sebab selama 32 tahun masyarakat Chinese terisolasi, tidak ada komunikasi baik antar regional maupun nasional sehingga kemunculan Koran ini mampu meningkatkan kepercayaan diri mereka untuk tampil di muka umum apalagi masu ke dalam ranah politik.
    Untuk pendirian usaha penerbitannya pun tidak lagi dipersulit, mereka hanya memiliki surat izin usaha seperti umumnya, tidak lagi bersusah payah memiliki SIUP atau member sebagian saham kepada menteri penerangan dan lain sebagainya.
    Sama seperti koran nasional lainnya pemberitaan di Guo Ji Ri Bao adalah isu-isu hangat domestik dan internasional baik politik, ekonomi, sosial dan budaya atau pun olahraga. Akan tetapi lebih cenderung pemberitaan untuk epentingan kelompok mereka misalkan acara-acara,  tokoh-tokoh, informasi dan prestasi seputar kalangan Tionghoa. Guo Ji berusaha untuk menjadi media massa yang memfasilitasi publik untuk mendapatkan informasi yang ia butuhkan dengan menyajikan berita se-obyektif mungkin, mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak memihak pada kepentingan rakyat banyak dan mendukung hal-hal positif pemerintah yang bertujuan untuk kebaikan bersama.
    Metode pengawasan pemerintah terhadap Koran ini pun tetap ada melalui BIN   (Badan Intelijen Negara) segala bentuk kejurnalistikannya pun diamati agar tetap pada koridor kode etik jurnalistik dan undang-undang.

    KESIMPULAN
    Eksistensi warga keturunan etnis Tionghoa mengalami banyak pemasungan dalam sejarah perjalanannya sebagai warga Indonesia keturunan. Maka, tak heran hal ini menimbulkan trauma yang mendalam bagi mereka sehingga menjadi tidak punya cukup keberanian untuk tampil di muka publik apalagi ranah politik. Mereka yang dari semula berwatak dagang terus menjaga stabilitas kehidupan mereka. Tidak ada tekad untuk menggelorakan semangat perjuangan untuk keluar dari belenggu ketidakbebasan. Pembunuhan terhadap etnis Tionghoa pada 1740, terjadi aksi boikot pedagang Tionghoa di Surabaya, kerusuhan anti Tionghoa di Kudus, masa revolusi pembunuhan massal etnis Tionghoa (1946-1948), kampanye dan asi anti Tionghoa pasca G30S hingga peristiwa rasialis 5 Agustus 1973 dan Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) pada 1974 menimbulkan bekas yang tak terlupakan dan akan selalu menjadi bahan analisis kesejarahan.
    Sejak dulu, orang Tionghoa pun secara popular digambarkan sebagai tukang riba dan pedagang oleh orang Indonesia pribumi maupun oleh penguasa Belanda. Di mata keduanya, orang Tionghoa cenderung untuk terlihat sebagai suatu kelompok kaya dan konservatif yang menghalangi kemajuan golongan pribumi.
    Namun, sekitar tahun 2000 presiden Abd. Wahid membuka keran-keran politik bagi mereka dengan mencabut Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 tentang pelarangan ekspresi kebudayaan Cina di ruang publik berdasaran Keputusan Presiden No. 6 tahun 2000 oleh presiden Gus Dur. Dengan itu, hak-hak sebagai Negara dan kewenangan untuk berpartisipasi dalam ranah politik terbuka lebar sejak pemerintahan Gus Dur.
    Guo Ji Ri Bao adalah surat kabar nasional berbahasa Mandarin yang berdiri setelah era reformasi. Ini menandai adanya partisipasi politik kalangan etnis Tionghoa ini setelah pembatasan penuh pada era orde baru (1967-1998). Guo Ji Ri Bao menjadi media yang efektif untuk meningkatkan solidaritas komunitas Tionghoa dan memperekat mereka satu sama lain. Sama seperti surat kabar lainnya konten berita yang disajikan oleh Guo Ji Ri Bao berkisar tentang berita domestik dan internasional terkait masalah politik, ekonomi, sosial, budaya atau olahraga.


    Daftar Pustaka


    Referensi Buku:
    Coppel, Charles A. 1994. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
    Kaid, Lynda Lee dan Christina Holtz-Bacha. 2008. Encyclopedia of Political Communication. USA: Sage Publication
    Liem, Yusie. 2000. Prasangka terhadap etnis cina: sebuah Intisari. Jakarta: djambatan
    Lih. Kevin T. Leicht. 2010. Handbook of Politics: State and Society in Global Perspective. USA: Springer
    Mackerras, Collin. 2003. Ethnicity in Asia. London: Routledge Curzon
    Setiono, Benny G. 2003. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa
    Surjomihardjo, Abdurrachman dkk. 2002. Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Kompas
    Suryadinata, Leo. 2010. Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta: Kompas
    Wibowo, Ignatius dan Thung Ju Lan. 2010. Setelah Air mata kering: Masyaraat Tionghoa pasca peristiwa mei 1998. Jakarta: Kompas

    Referensi Internet:
    http://www.ujungpandangekspres.com/
    http://www.guojiribao.com/
    http://www.kamusbahasaindonesia.org/

    Narasumber:
    Bapak. Bambang Sunyono, Pimpinan Redaksi Surat Kabar Guo Ji Ri Bao.




    [1] Lih. Benny G. Setiono, 2003, “Tionghoa dalam Pusaran Politik”, hlm. 1074
    [2] Lih. Abdurrachman Surjomihardjo, 2004, “Beberapa segi  Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia”, hlm. 44
    [3] Lih. Leo Suryadinata, 2010, “Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia”, hlm. 193
    [4] http://www.kamusbahasaindonesia.org/
    [5] Lih. Kevin T. Leicht, 2010, “Handbook of Politics: State and Society in Global Perspective”, hlm. 111
    [6] Lih. Lynda Lee Kaid dan Christina Holtz-Bacha,2008, Encyclopedia of Political Communication. Hlm. 532
    [7] http://www.ujungpandangekspres.com/
    [8] Lih. Colin Mackerras, 2003, “Ethnicity in Asia”, hlm. 64
    [9] Benny G. Setiono, Op.Cit.,  hlm. 1077

  2. 0 comments:

    Posting Komentar