Rss Feed
  1. Oleh:

    Sari Riantika Damayanti[2]

    Tidak mudah dalam mengkaji suatu budaya, menuliskan sejarah dan menggambarkannya pun demikian. Seperti juga halnya dengan Blundell, Shepherd, dan Taylor yang meski sepakat bahwa sumber daya yang tersedia pada cultural studies adalah disiplin dari English literature, sosiologi, komunikasi, antropologi, linguistik dan berbagai bentuk semiologi, kajian film dan televisi, serta sejarah seni dan musikologi yang terbaru, mereka masih kesulitan untuk menggambarkan mahzabnya. Namun pada intinya, dalam mengkaji suatu budaya tidak cukup dengan satu pendekatan ilmu, melainkan dengan banyak perspektif ilmu yang terlibat.


    Dalam buku ini, penulis membahas mengenai pandangannya antara cultural materialism dan poststructuralism. Cultural materialism diartikan sebagai penyedia pemahaman dan gambaran budaya kelas pekerja yang "full rich life". Sedangkan poststructuralism cultural studies fokus pada komponen bahasa.


    Terdapat 2 (dua) pendekatan dalam menyoroti pertentangan ini yaitu dengan menyimpulkannya menjadi critical realism vs radical subjectivity/interpretative freedom. Menurut Grossberg, cultural studies adalah konteks radikal dari apa yang disebutnya articulation [3] dari pengetahuan dan kekuasaan. Untuk hal yang sama, Richard Hogart mengistilahkannya dengan modification.


    Selanjutnya, antara critical dan celebratory cultural studies menerangkan bahwa penerima pesan membuat maknanya sendiri (active reader thesis), dengan kata lain manusia menyeleksi produk budaya berdasarkan kebutuhan dan keinginan mereka (uses and gratification).


    3 (tiga) dari 5 (lima) karakteristik diusung oleh Sardar dan Van Loon yang berkaitan dengan campur tangan "power" (kekuasaan) antara lain:(1). Critical cultural studies bertujuan untuk menganalisa tiap subjek masalah dalam penerapan budaya dan kaitannya dengan kekuasaan serta bagaimana pengaruh suatu hubungan dengan pembentukan suatu budaya. (2). Critical cultural studies, untuk memahami budaya dengan objektif dari seluruh bentuk kompleks dan mandeteksi adanya unsur sosial dan politik yang menyamun di dalamnya. (3). Critical cultural studies berdasarkan pertimbangan moral dari masyarakat modern dan bertujuan untuk memahami pergeseran struktur dari suatu dominasi.


    Sebenarnya keberatan dari kaum kontemporer (penganut aliran post strukturalis) menentang determinasi ekonomi politik. sebagian menyatakan bahwa modernitas telah terlampaui dan sekarang adalah bagian dari postmodernitas, analisa kontemporer sudah seharusnya dipengaruhi oleh fragmentasi dari budaya daripada struktur produksi, diseminasi dan konsumsi budaya.


    Untuk memahami bagaimana sesungguhnya cultural studies ini, kita dapat merangkum beberapa pandangan dari beberapa teoritikus. Pertama dari Inggris yaitu Richard Hoggart dan Raymond Williams serta sejarawan E.P Thompson, Stuart Hall, Lawrence Grossberg dan banyak lainnya. Kedua adalah pandangan dari sekolah Frankfurt, khususnya Adorno.


    Pada tahun 1964, Richard Hoggart membentuk suatu pusat untuk cultural studies Kontemporer di Universitas Birmingham yang merupakan asal muasal dan nama bagi cultural studies. Dalam bukunya, The Uses of Literacy, Hoggart membahas tentang kritisisme literer sebagaimana digunakan juga oleh F.R. Leavis dan yang lainnya dalam analisa mereka terhadap high culture, namun menggantinya menjadi "the full rich life" dari kelas pekerja. Dalam The Uses of Literacy, Hoggart terkonsentrasi pada tekanan kepemilikan dan aspek dari produksi teks media, bukan hanya sekedar konsumsi ataupun interpretasi mereka.


    Pertama, Hoggart memaparkan tentang nondeterministik, bentuk dialektikal dari analisa budaya. Di sisi lain, Ia menulis bahwa menghadapi komersial indoktrinasi, orang kelas pekerja masih memiliki resistansi terhadap berbagai terpaan terutama dari media daripada kaum elit penguasa. Dalam keadaan radikal, mereka menentang media dan membentuk perlakuan untuk menolak berbagai nilai-nilai yang disodorkan media. Hoggart juga menyebutkan kemunculan budaya massa sebagai sebuah "soft mass-hedonism" dan "hedonistic-group-individualism".


    Raymond Williams yang juga teoritikus Inggris menyatakan bahwa perkembangan dari istilah budaya itu sendiri senantiasa berubah-ubah mengikuti perkembangan kehidupan sosial, ekonomi dan politik kita dan pemahaman terhadap budaya ini merupakan sebuah respon dari berbagai peristiwa dimana pemahaman kita terhadap industri dan demokrasi didefinisikan. Bagi Williams, budaya adalah jenis khusus dalam pemetaan makna dimana karakteristik perubahan bisa dieksplorasi.


    William juga membahas mengenai long revolution bahwa manusia pada umumnya secara langsung terbentuk dari kehidupannya sendiri akibat dari terkanan dan pembatasan dari masyarakat sebelumnya. Kemudian disebutkannya bahwa sebenarnya revolusi industri dilatarbelakangi sumbangan ide dari ilmu pengetahuan dan kapital kepada kelas pekerja. Dan, revolusi budaya didefinisikannya sebagai suatu pembelajaran lanjutan termasuk kemampuan literasi dan pesatnya kemampuan komunikasi pada kelas daripada golongan elite.


    Lalu, William dan Innis sepakat bahwa media popular dan vernakular memungkinkan elit untuk terkoneksi dengan masyarakat luas yang dapat difungsikan sebagi penyebaran ideologi.


    Pada awalnya, Adorno dan teoritikus Inggris tampak sebagai oposisi dari pendekatan cultural studies dengan teoritikus Inggris (Hogart, Williams). Fokus mereka terpusat pada produksi dan distribusi budaya komersial yang telah mengubah ke-otentikan atau keaslian suatu budaya. Namun, William dan Adorno memiliki pandangan yang sedikit berbeda mengenai proses inovasi. Menurut Adorno, Tiap-tiap inovasi dalam media itu telah dirancang dan ia mempunyai dampak besar, memperluas dan memperdalam kontrol golongan elite.


    Bagi Adorno, alasan instrumental seperti pengkait-kaitan terhadap ilmu pengetahuan dapat merusak nilai-nilai dan makna sehingga menciptakan alienasi dan yang sumber utamanya adalah kaum elit penguasa.Adorno juga beranggapan bahwa buruh esensialnya melebur menjadi satu dengan kalangan borjuis untuk membentuk kelas massa baru di tengah konfliknya dengan kelas elit.


    Sebenarnya, antara cultural studies yang dikaji di Jerman dan di Inggris memiliki banyak kesamaan misalnya seperti yang dinyatakan oleh James Carey bahwa suatu kajian budaya harus dietnosentriskan yaitu pada kerja intelektual termasuk kedua cultural studies dan ekonomi politik yang dibentuk oleh formasi nasional bersamaan dengan kelas, persaingan (race), gender, dan keterusterangan.


    Jadi, seperti yang digagas oleh Adorno dan teoritikus British lainnya, terdapat integrasi dari permasalahan budaya, politik dan ekonomi. Kajian media sendiri pun pada awalnya dimulai dengan adanya dua percabangan yaitu antara kajian kultural dan critical political economy. Sehingga, pemahaman mengenai cultural studies pun tidak dapat hanya dipahami melalui penerapan budaya dalam kehidupan sehari-hari tanpa adanya pemahaman konteks terhadap ekonomi politik pula seperti dalam produksi artifak budaya dan kesepakatan antara budaya dan ekonomi politik itu sendiri.




    [1] Bahan bacaan diambil dari buku Cultural Studies and Political Economy oleh Robert E Babe hlm. 61-96. Dikerjakan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Media, Budaya dan Masyarakat”. Dosen: AG. Eka Wenats Wuryanta.

    [2] Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina. NIM: 209000056.

    [3] Articulation adalah elemen penting dalam poststrukturalist sebagai pisau analisa yang fleksibel terhadap struktur yang ada.


  2. 0 comments:

    Posting Komentar