Oleh:
Sari Riantika Damayanti[2]
Selama kurang lebih 30 tahun, pertentangan yang tersebar di dunia terfokus pada masalah yang kaitannya terhadap liberalisasi dan integrasi ekonomi. Dalam pendekatan berbasis ekonomi, hal ini dapat menyebabkan perubahan sosial yang sekaligus dapat menumbangkan sebuah rezim.[3] Pada era Soeharto memimpin misalnya, krisis global tengah melanda dunia dan mempengaruhi berbagai sektor ekonomi yang ada di Indonesia. Krisis ekonomi ini pada akhirnya berdampak pada krisis politik. Akibatnya rakyat merasa gerah sehingga pemerintah yang ditekan, maka digulingkanlah rezim Soeharto. Sebenarnya terdapat 2 (dua) penyebab mobilisasi yang marak terjadi yaitu dikarenakan faktor liberalisasi ekonomi serta kebijakan dan pemilihan yang akhirnya menghasilkan kerusuhan seperti yang banyak terjadi pada negara-negara kurang berkembang di Afrika, Asia dan Amerika Latin.[4]
Di tengah persaingan global sepeti sekarang ini, peluang dan ancaman menjadi dua faktor yang mendorong munculnya tindakan kolektif. Peluang (opportunity) memusatkan perhatiannya pada gagasan bahwa tindakan bersama dikendalikan oleh situasi. Di lain pihak, ancaman (threat) pada perilaku kolektif disebabkan oleh insentif negatif yang mereduksi kepentingan penantang. Ancaman dipersepsikan sebagai suatu "kabar buruk" (bad news) oleh grup penantang. 3 (tiga) jenis ancaman yang dapat mempengaruhi pertentangan dalam pengembangan dunia antara lain: (1). tekanan negara (state repression), (2) erosi terhadap hak-hak dasar politik (erosion of fundamental political right), (3). Masalah perekonomian negara (state attributed economic problem). Sementara dalam menghadapi ancaman liberalisasi ekonomi dan globalisasi pada nilai sosial dan ekonomi harus dihindari dengan tindakan bersama (joint action). [5]
Demokratisasi menyediakan peluang politik yang besar bagi kelompok-kelompok sekeliling ancaman ekonomi yang tergabung dengan implementasi kebijakan neoliberal dan liberalisasi ekonomi. Terdapat 2 (dua) tahapan pengaturan struktural dari pengkondisian kategori ancaman ekonomi yaitu: kebijakan pengaturan struktural dan tanggapan populer (structural adjustment policies and popular response). Tahap pertama (1980-1990): krisis global terjadi diawal tahun 1980-an. International Monetary Fund (IMF) dan bank dunia (World Bank) menawarkan kredit jangka panjang, me-reschedule pembayaran dan mengurangi hutang dengan berbagai syarat untuk mau mengatur kebijakan perekonomian nasional negara tersebut menjadi lebih ke arah neoliberal. Tahap kedua (1990-2008): di awal tahun 1990-an krisis global belum juga terselesaikan. Pemerintah melanjutkan perjanjian dengan IFI dengan berbagai ketetapan seperti memindahkan kontrol harga, pemotongan subsidi, dan pajak-pajak baru. Tahapan kedua ini lebih menekankan pada pembelian dari luar (outsourcing) dan melengkapi layanan, kegunaan dan sumber daya alam menjadi sektor privat.[6]
Terdapat 2 (dua) kelompok dalam kegiatan anti globalisasi di bagian selatan dunia (global south) khususnya pada bidang sosial dan peran serta organisasi yaitu: (1) pengembangan berbagai sektor selama periode state led development (1940-1980), (2). sektor sosial dari gelombang ketiga dari demokrasi global (1970-sekarang). Pada periode state-led development, sektor yang dikembangkan antara lain sektor publik, perserikatan buruh, sektor pendidikan dan kerjasama bidang pertanian. sementara pada sektor demoktratisasi antara lain organisasi non pemerintah (LSM), perubahan sosial, dan partai politik oposisi. [7]
Jadi pada intinya, selama bentuk persaingan dan pertentangan yang terjadi selama kurang lebih 30 tahun ini memicu timbulnya tindakan radikal kolektif yang terjadi pada abad ke-20, tindakan kolektif ini akan serupa dengan pedoman kebijakan pada ketidakinginan terhadap liberalisasi ekonomi. Tindakan kolektif pelajar mendapat keuntungan dari beberapa penelitian dan berbagai macam bentuk klasifikasi terhadap ancaman ekonomi dengan proses globalisasi yang dapat memobilisasi jumlah besar masyarakat. Penelitian komparatif terhadap beberapa negara memperkuat pemahaman kita terhadap infrastruktur organisasi dalam masyarakat sipil. Dampak dari kebijakan disebutkan justru mengakibatkan gerakan kolektif penduduk untuk melawan kebijakan-kebijakan yang tidak diinginkkan seperti privatisasi sektor publik dan penstrukturan masa jabatan. Pemberdayaan atau perbaikan terhadap beberapa hal ini dijadikan oleh partai politik oposisi untuk dapat memperkuat suara dalam pemilihan untuk mengambil kekuasaan eksekutif.[8]
Dalam perspektif media, konsep globalisasi telah digantikan dengan paradigma imperialisme di awal tahun 1990-an sebagai pola pikir utama mengenai media internasional. Teori-teori globalisasi pun menjadi lebih luas aplikasinya dan tidak lagi sesederhana media.[9]
Terdapat pembedaan umum antara dua macam teori-teori globalisasi yang diidentifikasi sebagai teori lemah globalisasi (weak theories of globalization) dan teori kuat globalisasi (strong theories of globalozation). Dalam teori lemah, ada konsep yang dimodifikasi dan ditarik konklusi, akan tetapi sistem berpikir atau paradigma dasar, tetap seperti pada periode sebelumnya. Alternatifnya adalah yang disebut teori kuat. Teori kuat ini mengakui adanya keunikan dari abad masa kini. Teori-teori kuat globalisasi melukiskan secara radikal bahwa mereka berbeda dari teori-teori sebelumnya. Bentuk sosial baru ini menuntut cara baru bagi kita untuk berpikir sedikit berbeda dari teori-teori yang ada sebelumnya.[10]
Globalisasi dibentuk oleh seperangkat proses yang berada di dalam dinamisme modernitas dan sebagai konsep yang mengacu pada dunia dan kesadaran ekstrem mengenai dunia secara luas.[11] Penjelasan mengenai budaya dalam pendekatan ekonomi mungkin kinerjanya lebih kontekstual pada masa lalu, tapi tidak cukup membantu untuk memahami dunia diantara berbagai macam praktik sosial. Teori-teori globalisasi umumnya adalah teori yang sangat kritis dalam upaya menciptakan penafsiran tunggal bagi dinamika media atau bagian lain dari masalah sistem sosial. [12]
Tuntutan dari globalisasi adalah bahwa tidak ada satu negara dan satu perusahaan pun yang cukup kuat untuk mendominasi dunia dan pasar dunia. Namun, gagasan mengenai tidak adanya pengaturan tunggal ini bertentangan dengan tuntutan media dan paradigma budaya imperialismenya. Seperti yang diutarakan Schiller dalam paradigma imperialisme mengatakan penyiaran di sekeliling dunia ini didominasi oleh perusahaan dan program dari Amerika. Namun paradigma kuat globalisasi berpendapat Amerika Serikat tidak selamanya memainkan peran dalam sistem citra dunia tapi hanya menjadi salah satunya saja, karena masih banyak perusahaan lain yang berasal dari lokasi mana saja yang menjadi produser dan eksportir film dan program TV lainnya.[13]
Pada abad baru ini, media massa menjadi penting sejak mereka menjelmakan jarak yang berada di luar kewajaran yang merupakan karakteristik dari globalisasi. Media menjadi sangat sentral bagi pembentukan globalisasi.[14]
[1] Bahan bacaan diambil dari buku Kevin T. Leicht berjudul Handbook of Politics hlm. 305-326 dan Colin Spark berjudul Globalization Development and the Mass Media hlm.126-148.
[2] Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina. NIM: 209000056.
[3] Kevin T. Leicht, Handbook of Politics: State and Society in Global Perspective, hlm. 304
[4] ibid.,
[5] ibid., hlm. 305-306
[6] ibid., hlm. 307-309
[7] ibid., hlm. 311
[8] ibid., hlm. 320-321
[9] Colin Spark, 2007, Globalization Development and the Mass Media, hlm.126.
[10] ibid., hlm. 128
[11] ibid.,
[12] ibid., hlm. 129-130
[13] ibid., hlm. 139-140
[14] ibid., hlm. 147
0 comments:
Posting Komentar