Oleh:
Sari Riantika Damayanti[2]
Masyarakat sipil adalah sebuah konsep popular dimana konsep dan persepsi tentang masyarakat sipil ini merupakan sebuah solusi permasalahan untuk kondisi buruk masyarakat (ill of society) dan negara dengan intelektualitas dan persebaran kondisi sosiopolitik dan ekonomi yang merata.[3]
Kajian ini mengadopsi tentang sebuah definisi bahwa letak dari masyarakat sipil ini dibidang suatu negara, masyarakat politik, pasar, dan masyarakat pada organisasi bukan negara, kelompok nonmarket yang mengumpulkan aksi dalam pencapaian norma ideal. Kajian ini juga membedakan bidang bagi diskursus dan konstruksi dari norma-norma ideal melalui interaksi antara ide-ide organisasi nonnegara. Kemudian, kajian ini juga merupakan arena bagi kepemimpinan pribadi bagi aktor dalam suatu negara untuk meyakinkan isu. Ini juga membahas sebuah instrumen dari tindakan kolektif untuk melindungi otonomi publik, mempengaruhi rezim, dan mempengaruhi politik dan kebijakan negara, masyarakat politik dan pasar.[4]
Hubungan antara masyarakat sipil dari suatu negara sering digambarkan dengan konfrontasi dan zero sum. Ini bisa menjadi kasus dengan situasi serius dan dibanyak kasus ini adalah saling ketergantungan antara negara dan masyarakat sipil untuk bertahan.
Dalam prinsip demokrasi setiap warga negara berkedudukan sama di mata negara. Biasanya masyarakat sipil ini didominasi oleh elit kecil yang mempunyai kedudukan istimewa dalam pemerintahan. Kedudukan masyarakat sipil ini adalah seb agai khalayak dengan jumlah yang kecil yang tidak begitu terorhanisir dengan baik.
Dalam pembahasan mengenai alternatif dan journalisme warga yang ditulis oleh Chris Alton ini menelaah tentang jurnalisme yang bukan diproduksi oleh kalangan profesional tapi dari orang-orang yang berada di luar organisasi media yang kemudian disebut Produser Amatir Media (Amateur Media Producer) dengan ciri-ciri: jurnalisnya tidak ditatar terlebih dahulu untuk memenuhi kualifikasi jurnalis profesional. Mereka menulis dan melapor dengan posisi mereka sebagai warga negara, anggota masyarakat, aktivis dan fans.[5]
Terdapat 3 (tiga) aspek yang dianalisa yaitu pergerakan sosial dari media dan warga media, jurnalisme alternatif lokal, fanzine dan blog.[6] Untuk hal ini, yang menjadi warga media atau "citizen" media bukanlah ditujukan pada state promoted citizenship tapi pada praktisi media (media practices) yang pada akhirnya akan menciptakan suatu kewarganegaraan (citizenship) dan identitas politik dalam kehidupan sehari-hari.
Secara umum, dalam kajian akademis, media alternatif didominasi oleh pendekatan yang terkonsentrasi pada perkembangan nilai-nilai politik. Sedangkan secara sempit pada kapasitas alternatif media dalam "memberdayakan" masyarakat.
Pemahaman mengenai praktik media mengharuskan pemahaman dari pelaksanaannya antara lain: nilai-nilainya, motivasi, sikap, ideologi, sejarah, pendidikan dan relationship. Ini yang mewajibkan seperti terminologi Bourdesian (lihat ) yang menganalisa praktek dari sejumlah hubungan antara "habit" dan (praktik) "lapangan".
Untuk itu, diperlukan khalayak yang menjajaki media alternatif yang digunakan tidak hanya sebagai jangkauan dan sebagai metode bagi media untuk memobilisasi khalayak, tapi juga sebagai sebuah konsep dalam penyelesaian konteks yang memainkan peran dari produser dan partisipan sebagai pengguna.
Fanzine journalism merupakan alternatif budaya jurnalisme yang dalam penerapannya berdasarkan suatu pola atau kebiasaan konsumsi. Fanzine sering muncul ke permukaan sebab ia merupakan objek dari studi budaya populer yang ditolak oleh jurnalisme mainstream. Ia juga merupakan tantangan bagi critical orthodoxy. Mereka dipercaya (penulis) bahwa kebudayaan mereka yang dimarginalkan dan ditenggelamkan oleh selera mainstream akan berdampak pada perubahan dan sirkulasi pengetahuan dan pembangunan komunitas budaya.
Sedangkan blog merupakan sebuah jurnalisme personal politik yang dapat dimaknai sebagai suatu tindakan praktis, jurnalisme investigasi level amatir, komentar dan opini. Organisasi berita dan pengguna bloger sebagai sumber bukan merupakan satu-satunya strategi yang memungkinkan: komunitas jurnalisme mencoba mendefinisikan ulang kegiatan blogging sebagai alat jurnalistik dan blogger sebagai jurnalis amatir atau journalism wannabe.[7]
[1] Bahan bacaan diambil dari The Handbook of Journalism Studies oleh Karin Wahl Jorgensen hlm. 265-278 dan Civil Society and Political Change in Asia oleh Muthiah Alagappa hlm. 26-57. Resume ini dikerjakan untuk memenuhi tugas mata kuliah Media Massa dan Sistem Politik. Dosen: Fernando Rahadian Srivanto.
[2] Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina. NIM: 209000056.
[3] Muthiah Alagappa, 20.., Civil Society and Political Change in Asia, h. 5
[4] Ibid., h. 32
[5] Karin Wahl Jorgensen, 20.., The Handbook of Journalism Studies, h. 265
[6] ibid., h. 265
[7] Ibid., h. 271-272
0 comments:
Posting Komentar