Rss Feed
  1. Oleh:

    Sari Riantika Damayanti[2]



    Media Massa dan Dinamika Komunikasi Politik dalam Proses Demokratisasi


    Selama ini, media massa kerap kali diabaikan dalam studi demokrasi, padahal justru media memberikan dampak krusial tidak hanya bagi fungsionalisasi institusi tapi juga bagi keberlanjutan proses keseluruhan demokrasi.


    Sejak awal munculnya gagasan demokratik pada abad 18, filsuf politik membenarkan peran krusial ini dari debat publik dan kebebasan berbicara, kemudian berlanjut pada tuntutan kebebasan pers (Keane 1991).[3] Gagasan utama dari tuntutan media akan kebebasan adalah media sebagai “pasar ide” (market place of ideas)yang merupakan arena dialog bagi publik serta wahana untuk mendapat pengakuan publik tanpa campur tangan negara. Dalam perspektif ini muncul berbagai kritik dari banyak kalangan sebab sebagai peyedia forum, media seringkali berperan pasif.


    Komunikasi politik merupakan suatu sistem dari dinamika interaksi antara aktor-aktor politik, media, dan anggota khalayak, dimana masing-masing terlibat dalam produksi, penerimaan dan penafsiran pesan-pesan politik. Ada tiga komponen dalam sistem komunikasi politik: media massa, aktor politik, dan warga negara. Dalam hal ini, media bukan hanya saluran yang membawa pesan politik untuk dikomunikasikan pada para pemilih. Mereka juga aktif sebagai partisipan yang menciptakan pesan politik (Cook 1998).[4]


    Pada demokrasi Barat, aktor-aktor politik – pada pemerintahan tertentu dan partai politik – sangat bergantung pada media massa. Strategi media –media logic: rutinitas mengumpulkan informasi, seleksi criteria, dan gaya presentasi - menjadi sangat krusial dan penting dalam menyukseskan kampanye politik dalam pemilihan umum. Akan tetapi pengaruh media tidak serta merta masuk dalam kognisi pemilih sebab pemilih telah memiliki persepsi sendiri dari penyaringan kognitif kompleks.


    Jurnalisme dan Demokrasi


    Lahirnya jurnalisme berbarengan dengan teriakan demokrasi dari masyarakat.[5] Pada rezim feodal sekitar abad 15-16 di Eropa (ditandai pula dengan penemuan mesin cetak), jurnalisme dipandang sebagai suatu instrumen yang potensial membahayakan efektivitas sistem administrasi publik sekaligus mengontrol masyarakat.


    Pondasi dari kemunculan jurnalisme politik modern dimulai pada abad ke 17 ketika terjadi pergolakkan antara pemerintahan monarki dan parlemen sehingga turut memancing terjadinya English Civil War disusul adanya demokratisasi.


    Dalam demokrasi, media berperan sebagai sumber informasi politik yang menjadi contributor kunci. Para pemburu berita ini (jurnalis) hendaknya mampu menyediakan informasi dan referensi yang kredibel, akurat bagi masyarakat sipil untuk menentukan sikap politis nya.


    Media juga bertugas sebagai anjing pengawas (watchdog) yang melakukan kontrol sosial terhadap fenomena di sekitar masyarakat sehingga ia juga disebut the fourth estate-pilar ke 4 (empat) dalam demokrasi.


    Pada posisi sebagai penengah (mediator), media mampu menjembatani komunikasi politik antara para aktor politik dengan warga negaranya untuk menampung aspirasi masyarakat yang kemudian memerlukan tindakan dari kaum elit yang bisa diakses melalui surat pembaca, talk-show, partisipasi dalam debat politik.


    Disamping itu jurnalis politik diposisikan sebagai pendukung masyarakat (particular political advocate) dan sebagai partisan yang memiliki kepedulian terhadap keberlangsungan suatu system demokrasi di suatu negara.


    Demokrasi dan Demokratisasi


    Suatu kesalahan fatal apabila berasumsi bahwa pemimpin dari negara dengan sistem nondemokratis yang diajak untuk melaksanakan sistem pemilihan, kemudian akan mengikuti (menganut) demokrasi secara penuh.[6] Demikian realita yang terjadi di “lapangan” praktik demokratisasi banyak dilakukan, beragam harfiah muncul untuk mengistilahkan kondisi semacam ini mulai dari electoral democracies, electoral authoritarian systems, dan delegative democracy, hingga illiberal democracy yang sebenarnya mempunyai inti yang sama yaitu hendak mengilustrasikan suatu negara yang mengklaim dirinya Negara yang demokratis akan tetapi sebaliknya dalam praktika seperti kasus negara Argentina, Brazil dan Peru pada tahun 1994. Meskipun dikatakan terdapat konstitusi di negara tersebut, namun konsentrasi pemerintahan masih terletak pada presiden secara penuh (otoriter) dimana hanya ada satu kepentingan yakni kepentingan pemerintah sedangkan ke-plural-an kepentingan tidak dibolehkan baik dinyatakan secara eksplisit maupun implisit. Walaupun menggalakkan pemilihan sebagai salah satu karakter fisik sistem demokrasi namun di lain pihak karakter penting lain yang sebetulnya merupakan esensi dari demokrasi ini antara lain: aturan hokum, pembatasan kekuasaan, perlindungan hak, kebebasan berpendapat dan berkumpul serta memeluk keyakinan menjadi sangat kurang berkembang.


    Ada banyak negara yang mengadopsi perilaku demikian. Mereka juga seakan terjebak di dalam wilayah abu-abu dan melenceng dari nilai-nilai yang seharusnya dipelihara. Robert Dahl mencatat lima poin penting dalam pengembangan peran demokrasi suatu negara:[7]

    · Pemimpin memberdayakan masyarakat secara koersif.

    · Modern, dinamis, dan plural.

    · Mentoleransi berbagai hal yang berpotensi mengundang konflik.

    · Masyarakat dibolehkan aktif dalam kegiatan politik, bebas menyatakan pendapat,
    dilindungi hak-haknya serta memeluk keyakinan.

    · Mengabaikan pengaruh dari negara asing yang berkehendak untuk menguasai.


    Banyak negara yang berada di zona abu-abu (gray area )adalah negara yang lemah dengan 3 (tiga) indikator: kecacatan ekonomi, hubungan antara individu dalam masyarakat yang tidak koheren, serta keterbatasan institusi khususnya institusi pemerintah yang efektif dan responsive.[8]


    Dominasi kaum elit juga menyemarakkan negara pada area abu-abu ini yang ikut mencampuri proses demokratis untuk melindungi kepentingan mereka seperti di Pakistan dan Bangladesh contohnya militer dan kaum religious (Islamist) menjadi kelompok mayor.[9]


    Sebetulnya, ada harapan baik yang difokuskan di sini yaitu tentang mobilisasi dan organisasi populer yang mencakupi perubahan sosial baru.


    Pengenalan demokrasi dengan campur tangan pihak asing memunculkan kontradiksi. Karena situasi ini seharusnya bebas dan tidak ada campur tangan. Namun sang outsider akan sangat membantu jika perannya bermanfaat untuk memperkuat masyarakat dengan menyelenggarakan pendidikan, informasi dan partisipasi efektif. Akan tetapi bantuan pihak asing ini tidak dikembangkan selama tahun-tahun belakangan ini.[10]




    [1] Bahan bacaan diambil dari buku Katrin Voltmer dengan judul Mass Media and Political Communication in New Democracies h. 1-16, dengan judul h. 237-249 dan Kevin T Leicht dengan judul Handbook of Politics, chapter 24: Democracy and Democratization, h. 441-458. Dikerjakan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Media Massa dan Sistem Politik”. Dosen: Fernando Rahadian Srivanto.

    [2] Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina. NIM: 209000056.

    [3] Katrin Voltmer, 2006, Mass Media and Political Communication in New Democracies, h. 2

    [4] Ibid., h. 7

    [5] Karin Wahl Jorgensen, 2009 ,The Handbook of Journalism Studies, part 17: Journalism and Democracies, h.237

    [6] Kevin T Leicht, 2010, Handbook of Politics: State and Society in Global Perspective. Hlm. 446

    [7] ibid

    [8] ibid., h. 448

    [9] ibid., h. 451

    [10] Ibid., h. 454


  2. 0 comments:

    Posting Komentar