Rss Feed

  1. Sari Riantika Damayanti
    Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina
    Jakarta 2012




    INTRODUKSI

    Musik bukan sekedar kumpulan nada yg memiliki kepaduan dan harmonisasi serta terikat dalam satu irama dan tempo yg beraturan. Jauh daripada itu, ia mampu merefleksikan suatu kondisi sosial masyarakat tertentu pada waktu tertentu. Dengan kata lain, kita dapat mengetahui dan menganalisa teks-teks budaya dan sejarah melalui musik serta melihat bagaimana kontestasi kekuasaan dan isu-isu kemasyarakatan digambarkan. Jacques Attali dalam bukunya  Noise: The Political Economy of Music mengatakan  “Listening to music is listening to all noise, realizing that its appropriation and control is a reflection of power, that it is essentially political.” [1] Kutipan ini mengingatkan kita tentang implikasi politik (political implication) terhadap produksi kultural (cultural production) yang ada.
    Sejarah memang tidak dapat dipisahkan dari keberadaan suatu produk budaya tertentu. Pemahaman bersama terhadap sejarah ini lah yang akan ditransmisikan pada generasi berikutnya sebagai bentuk warisan budaya. Itu juga yang akan menentukan bagaimana seseorang atau kelompok memposisikan diri dalam memandang fenomena tertentu yang kemudian akan mempengaruhi mereka dalam pola absorbsi dan konsumsi pada suatu produk kebudayaan (cultural consumption).
    Musik populer juga mempunyai rangkaian sejarah yang panjang. Ia kemudian digunakan untuk menggambarkan sebuah pandangan politik dari suatu komunitas tertentu. Misalnya aliran musik metal yang mengangkat gagasan-gagasan ekstrim dan resistensi dalam kemasan estetis (aesthetic provocatif).[2]
    Metal merupakan salah satu aliran musik yang muncul sekitar akhir abad 60-an. Musik ini berkembang pesat di Inggris dan Amerika dan banyak dipengaruhi oleh musik Blues dan Rock. Musik metal ditandai oleh ritme yang cepat dan keras serta hingar bingar penonton dan pemusik yang mengayun-ayunkan kepala ke atas dan kebawah (topdown), berputar (circular swing), atau dengan kepala berputar sambil diayunkan ke atas dan ke bawah (the whip), gerakan kepala memutar tak menentu (drunken style), menggerakkan kepala ke sisi kiri dan kanan (side to side), serta the whiplash yakni mengayunkan kepala ke atas dan ke bawah dengan kecepatan penuh. Gerakan sambil mendengarkan musik “keras” seperti itu kemudian dikenal dengan istilah headbanging.[3] Secara umum, lirik dan gaya pertunjukkan musik metal ini diasosiasikan dengan konsep maskulinitas.
    Penelitian yang dilakukan oleh Sam Dunn bersama Banger Production ini menginvestigasi tentang peran sejarah dan warisan budaya dalam musik metal yang kemudian dipercepat proses penyebarannya oleh globalisasi. Sejarah dan warisan budaya metal dalam tayangan tersebut dapat direpresentasikan melalui beragam cara antara lain dalam lirik, performances, logo, image dan fashion. Penelitian Sam Dunn ini dilakukan di beberapa negara antara lain Brazil, Jepang, India, China, Indonesia, Israel dan Dubai.
    Di Brazil, musik metal muncul bersamaan dengan lahirnya sistem demokrasi yakni sekitar abad 70-an. Brazil yang bekas jajahan portugis ini merupakan negara dengan populasi penduduk paling banyak di Amerika Latin sehingga penyebaharan musik metal pun sudah bisa dipastikan berlangsung secara masif. Selama 25 tahun lamanya hingga awal abad 60-an, Brazil mengalami masa pemerintahan otoriter sehingga ketika kran-kran demokrasi dibuka seluruh masyarakat menikmati euphoria kebebasannya termasuk dalam menuangkannya melalui musik. Rio de Janeiro adalah salah satu kota modern terbukti dengan keberadaan televisi pertama di Brazil hadir di kota ini.[4] Rio de Janeiro juga merupakan salah satu tempat tumbuh suburnya musik metal di Brazil.
    Berbeda dengan Brazil, Jepang menjadikan metal bukan sebagai alat perjuangan atau menyuarakan bentuk ketidakadilan akan tetapi sebagai hiburan agar hidup tidak terlalu membosankan. Metal di jepang menjadi salah satu kegemaran dan dijadikan gaya hidup. Salah satu band yang merintis Japanese Metal adalah KISS dengan mengawinkan budaya Jepang dan musik asing (metal) melalui seni pertunjukkan yang terkenal di Jepang yaitu Kabuki –sebuah seni peran dimana pemainnya menghiasi wajah mereka untuk memberikan keterangan tentang peran yang mereka ambil masing-masing.
    Di Mumbai, India yang terkenal dengan dansa enerjik dan erotis dalam berbagai film Bollywood. Nyanyian dan tarian sebagai salah satu ciri unik dari kebudayaan India ini ternyata tidak begitu digandrungi oleh para remaja India. Mereka lebih tertarik pada musik Metal yang lebih maskulin. Hirarki feodal dalam budaya India pun masih sangat kental contoh kecil antara orang tua dan anak dimana proteksi yang ketat dan pembatasan yang dilakukan para orang tua mengekang kebebasan para anak. Berdasarkan hal tersebut, metal mulai menebarkan pesonanya di kalangan remaja India sebagai wujud protes terhadap budaya feodal tersebut. Para pemuda beranggapan kalau metal adalah bentuk protes yang mirip dengan gerakan ajaran  Mahatma Gandhi tentang Ahimsa, Satyagraha dan lain sebagainya.
    Di Beijing, Metal menjadi identitas baru yang direpresentasikan dengan rambut panjang yang men-counter gaya rambut kebudayaan cina dengan kepala setengah botak dan rambut dibiarkan panjang lalu dikuncir.
    Di Indonesia khususnya di Jakarta yang merupakan Negara dengan populasi muslim terbesar di dunia. Konteks keislaman juga dihadirkan dalam music metal menghasilkan apa yang dinamakan metal satu jari –subkultur metal yang memperjuangkan nilai-nilai keislaman. Kebanyakan dari mereka hanya mengambil semangat dari musik metal saja, sebagai sebuah alat protes terhadap sebuah sistem, dengan tetap mempertahankan keimanan kepada Tuhan YME. Musik metal Indonesia juga berkembang sebagaimana perkembangan musik metal dunia. Metal di Indonesia dijadikan sebagai alat kritik atas ketidakadilan system dan fenomena sosial tentang kemiskinan, korupsi dan lain sebagainya yang tak kunjung usai.
    Sedangkan di Jerussalem tepatnya di Palestina yang merupakan Negara yang paling sering berperang tenyata juga menjadi lahan tumbuhnya aliran musik garis keras bernama metal ini. Lirik-lirik lagunya didasarkan pada cerita-cerita bernuansa pembantaian sehingga sangat mirip dengan peristiwa holocaust  -sebuah kenangan pahit masa lampau. Para penggiat dan penggemar music metal di Palestina ini pun berharap agar peristiwa holocaust yang dimuat dalam lirik lagu ini berharap agar peristiwa ini tidak terulang kembali.
    Di Dubai, Sam Dunn bisa mendapatkan sedikit informasi tentang perkembangan metal di Iran yang system politiknya dibatasi sedemikian rupa oleh penguasa sehingga mereka hanya bisa mengakses Metal ini melalui Internet.
    Adanya berbagai subgenre musik metal menjadi salah satu konsekuensi adanya globalisasi. Betapa tidak, melalui tubuh globalisasi setiap informasi lintas Negara dan bangsa dapat dialirkan dengan sangat cepat terutama atas bantuan media. Sehingga penyebaran music metal ini pada akhirnya menghasilkan keanekaragaman akibat kontak budaya pada Negara tertentu dimana mereka meletakkan unsur budaya lokal mereka pada music global ini atau yang disebut glokalisasi. (glocalization). Negosiasi budaya mengawal proses terjadinya globalisasi ini terbukti dengan adanya  perbedaan karakter music metal pada komunitas tertentu di negara tertentu.
    Makalah ini akan membahas mengenai pentingnya sejarah dan perannya dalam musik metal serta bagaimana musik metal menjadi alat yang kuat untuk mentransmisikan sejarah dan membentuk identitas bersama. Pembahasan juga dilanjutkan mengenai kajian semiotika struktur Ferdinand de saussure terhadap bahasa anggota subkultur metal.

    PEMBAHASAN
    Sejarah Singkat Musik Metal
    Seperti yang telah disajikan dalam introduksi bahwa musik metal muncul ke permukaan sekitar akhir abad 60-an. Dalam perkembangannya yang banyak mendapat pengaruh dari musik rock dan blues, Metal hingga saat ini mempunyai banyak subgenre musiknya. Elemen-elemen yang terdapat dalam musik metal dapat terlihat dari band-band yang paling awal muncul seperti Cream, Jimi Hendrix, Led Zeppelin, dan Deep Purple.
    Pada tahun 1970, Black Sabbath mengeluarkan album yang dipertimbangkan sebagai album dengan musik metal asli pertama (the first true metal album). Mereka mengombinasikan antara music dengan mistis (dark mythological) dan religiusitas untuk menentang realitas yang mengkhawatirkan dimana terdapat kemiskinan dan eksploitasi kelas pekerja di mana-mana.
    Pada akhir tahun 70-an, metal kemudian terkenal sebagai punk atau disco. Lalu pada tahun 80an, metal memperoleh popularitas dari kemunculan New Wave British Heavy Metal (NWBHM). Barulah sekitar tahun 1990, metal banyak memiliki subgenre music seperti hard rock, grunge, gothic rock, gothic metal, trash metal, speed metal, doom, metal, dan nu metal.
    Tema utama dari musik metal ini merefleksikan aspek pemberontakkan melalui music sebagaimana yang diekspresikan oleh Reamon Bloem -vokalis dan penulis lagu dari band Jerman “Thronar”. Itu adalah sebuah gaya musik agresif, bertema pemberontakkan, berkisah seputar isu –isu sensitif dan hal-hal tabuh dalam masyarakat misalnya politik, perang, seks, kekerasan, agama, sejarah, atau tema-tema yang berkaitan dengan fantasi, puisi, mitologi, dan lain sebagainya.

    Metal sebagai Subkultur
    Bersamaan dengan musisi, musik, tema, penggemar, performa pertunjukkan, dan citra, music metal merepresentasikan budaya itu sendiri. Seperti investigasi yang dilakukan oleh Sam Dunn (sutradara film documenter “Metal: A Headbanger’s Journey”) bahwa musik metal adalah budaya. Musiknya  membuat orang merasa tangguh bahkan ada yang menjadikannya sebagai ideologi dan pandangan hidup (way of life).
    Metal dalam misinya mentransmisikan budaya melalui music dianggap sebagai subkultur. Dari awal kemunculannya, metal telah menjadi aliran musik bagi sekelompok orang yang menggemarinya. Ia juga banyak dipandang sinis oleh banyak kalangan dikarenakan suara agresif, elemen-elemen kegelapan yang ditonjolkan dan gaya berpakaian dari para musisi dan penggemar membuat pertimbangan masyarakat dalam memandang metal sebagai subkultur yang tidak baik. Namun, tidak serta merta eksistensi aliran music yang digandrungi anak muda ini hilang begitu saja. Terbukti dengan lebih dari 20 subgenre musik metal ini dapat diidentifikasi dari genealogi musik yang tersebar sejak tahun 60-an sampai dengan sekarang ini. Metal akhirnya menjadi genre musik yang masih diperhitungkan hingga saat ini.
    Subkultur adalah komunitas sosial, etnik, regional, ekonomik, atau sosial yang menunjukkan perilaku khas yang cukup membedakannya dari komunitas lain dalam lingkup suatu kebudayaan atau masyarakat yang besar.
    Banyak subkultur yang lahir dari kalangan anak muda. Inilah yang kemudian memunculkan istilah youth culture (budaya anak muda) dan parent culture (budaya orang tua, tradisi). Menurut Phil Cohen[5], subkultur lahir sebagai usaha kompromi dari dua kebutuhan yang saling bertentangan, yaitu kebutuhan untuk menjadi otonom dan berbeda, serta kebutuhan untuk mewarisi tradisi. Cohen juga menyebutkan bahwa fungsi laten dari subkultur adalah sebagai bentuk ekspresi dan penyelesaian dari kontradiksi terhadap parent culture. Walaupun sebenarnya kontradiksi itu akan tetap ada. Konsep subkultur secara sederhana dapat dipahami merujuk pada nilai-nilai, kepercayaan, sikap, dan gaya hidup dari kelompok minoritas (atau sub-kelompok) di dalam masyarakat. Budaya dari kelompok ini akan menyimpang dari kelompok dominan, walaupun juga terkait dengan kelompok dominan tersebut. Walaupun subkultur identik dengan budayanya anak muda (seperti mod dan rocker, skinhead, Punk), subkultur juga dapat menunjuk pada kelompok etnis, kelompok jender, dan kelompok seksual. Konsep subkultur dapat berkembang secara luas dalam sociology of deviance, misalnya merujuk pada budaya ‘delinquents’ (anak nakal), pelaku kriminal, atau pengguna obat-obatan terlarang. Sebagaimana konsep  ‘counterculture’, konsep subkultur cenderung dipercaya sebagai bentuk resistensi terhadap budaya dominan.[6]
    Berdasarkan penjelasan tersebut, Metal juga berpotensi sebagai subkultur dimana ia memiliki nilai-nilai, kepercayaan, sikap, dan gaya hidup dari kelompok minoritas yakni kelompok penggemar musik metal.

    Penggunaan Warisan Budaya dan Sejarah dalam Musik Metal                 
    Investigasi dalam film dokumenter metal ini menggunakan pendekatan kesejarahan dan warisan budaya (historical and cultural heritage og metal) yang didasari oleh 5 jenis metal yang berbeda dari periode yang berbeda pula. Periode tersebut dimulai dari akhir tahun 60 hingga awal tahun 70an yang kemudian disebut era early metal (1966-1970), era ini merepresentasikan era kelahiran musik metal yang diikuti oleh New Wave British Metal (70-80an), (Swedish) Death Metal (, (Norwegian) Black Metal, dan Folk Metal. Kelima periode ini menunjukkan bahwa musik metal selalu berkembang berdasarkan tuntutan zaman dan berbagai faktor seperti politik, ekonomi, sosial dan budaya suatu negara sehingga investigasi dilakukan dengan mengamati berbagai elemen kesejarahan tersebut. 
    Seperti yang kita ketahui bahwa periode early metal merupakan era kelahiran musik metal dimana masih banyak pengaruh musik Blues dan Rock. Pemusik (band) yang paling terkenal pada era ini antara lain seperti Cream, led Zeppelin, Deep Purple dan Black sabbath.Melalui lirik-lirik lagunya maka dapat disimpulkan bahwa sejarah dan sejarah budaya tidak memainkan peran yang penting dalam periode ini. Tema-tema yang dimuat dalam lirik biasanya berkisah sepurar mitologi dan panorama alam. Misalnya pada salah satu lagu led Zeppelin tentang bagaimana pengalaman si penulis lagu (Plant) ketika mengunjungi situs bersejarah yaitu Morocco yaitu pada baris “...The mighty arms of Atlas hold the heavens from the Earth...”
    Kemudian dilanjutkan dengan era new wave of british heavy metal atau NWOBHM pada akhir tahun 70an hingga 80an. Mereka bergerak pada kemarahan dan kegusaran terhadap beberapa tema seperti kematian, obat-obatan dan lain sebagainya) dan dalam membuat album mereka diinspirasi oleh fiksi dan mistisisme seperti menyanyikan lagu dengan konsep syair klasik dan lain sebagainya. NWOBHM ini juga menaruh perhatian terhadap tema-tema politik dan ideologis. Ia juga menekankan perhatiannya pada kelas pekerja yang mempunyai kehidupan pesimistik, jauh dari pendidikan dan ditepikan dan dijauhkan dari budaya kelas-kelas lainnya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa NWOBHM merupakan sebuah aliran musik meral yang banyak dipengaruhi oleh kegelisahan terhadap sejarah inggris, budaya dan aspek sosiologisnya.
    Sedangkan pada (Swedish) Death Metal yang muncul pada tahun 90-an hingga sekarang, kebanyakan lagunya berkisah tentang kegelapan dalam kehidupan seperti bunuh diri, kutukan, kecanduan, drama dan juga tentang pengalaman personal (seperti pacaran) dan kritisisme masyarakat. Penampilan dan gaya pertunjukkannya tidak terlalu merefleksikan sejarah tapi lebih pada budaya metal itu sendiri seperti rambut panjang dan tatto.
    Di Norwegia pada waktu yang bersamaan, muncul saliran Black Metal sekitar akhir 80an atau awal 90an dengan band-band seperti Venom, Bathory, dan Celtic Frost. Lalu, Folk Metal menjadi sebuah jenis musik metal yang banyak mendapat pengaruh oleh elemen adat istiadat setempat seperti aliran Black Metal, Thrash Metal, Power Metal dan Doom MetalFolk metal banyak berhubungan dengan warisan budaya dan sejarah, liriknya pun banyak bercerita tentang budaya masa pertengahan, keyakinan neopagan dan ritual-ritual perayaan atau persembahan terhadap alam dan lagu-lagu pun kebanyakan ditulis dengan bahasa lokal (native language).
    Dalam film dokumenter, sebagian besar dari narasumber sepakat bahwa musik metal banyak dipengaruhi oleh sejarah dan budaya dimana banyak para pemusik dan penggemar menulis lagu tentang isu-isu sosial politik dan beberapa diantaranya juga fokus pada fantasi-fantasi. Mereka juga menggunakan nasionalisme dan religiusitas mereka sebagai poin menarik pada lirik.Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa sejarah dan budaya mengambil peran yang sangat kuat dalam membentuk konsep musik metal begitu juga sebaliknya musik metal dapat menjadi alat yang kuat untuk mentransmisikan budaya dan menyuarakan pendapat sebagai bentuk perjuangan.
    Salah satu yang penting terhadap kajian music metal ini antara lain adanya identitas bersama (common identity)  dalam subkultur ini dimana identitas ini merupakan bahasa mereka dalam rutinitas sebagai penanda bahwa mereka dalam kelompok yang identik dengan symbol-simbol tersebut. Identitas bersama ini dapat terlihat dari beberapa aspek seperti fesyen, aksi panggung, gestur sebagai aspek yang paling signifikan. Fesyen metal biasanya termasuk gaya berpakaian dengan didominasi warna hitam dan sedikit warna merah, body modification seperti tatto, gaya rambut yang terurai panjang, dan aksesoris seprti kalung, anting dan cincin dan sebagainya. Nathalia Hoogkamer (playin synthesizer in the Dutch Battle Metal band "Thronar") percaya bahwa bagi beberapa penggemar dan musisi tidak terlalu mepedulikan makna dari simbol tersebut, namun mereka menggunakannya karena mereka akan merasa terkoneksi dengan budaya metal. Sebagai tambahan untuk aksesoris, rambut juga menjadi simbol pendukung untuk terkoneksi dengan sesama anggota metal. Gaya rambut biasanya terinspirasi oleh Viking dan Celtic. Jonathan (metal music fan, played in several bands: Mentation, Melisend, and Darmkhatar) mengatakan "Long hair is an attribute that is clearly taken over from theViking/Saxon cultures, whereas Thronar group believes that it is just a symbol of rebellion in the 80’s.” Bentuk tatto juga menjadi bagian besar dalam merepresentasikan identitas bersama (common identity). Para musisi dan penggemar metal biasanya memiliki bentuk dan gambar tato yang besar dan menyeramkan. Hal ini juga ditentukan oleh subgenre musik metal yang dianut.
    Selanjutnya adalah tanduk setan (devil horn) sebagai gestur bersama (common gesture) diindikasikan dari beberapa budaya kuno bahwa devil horn adalah salah satu simbol persembahan terhadat iblis (satan).

    Kajian Semiotika terhadap Musik Metal
    Semiotika adalah ilmu yang mengkaji tentang tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda dan harus diberikan makna. Para strukturalis merujuk pada Ferdinand de Saussure (1916) melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan makna (isi yang dipahami oleh manusia pemakai tanda). Pada perkembangannya, semiotik menjadi perangkat teori yang digunakan untuk mengkaji kebudayaan manusia yang dilihat sebagai suatu sistem tanda yang berkaitan satu sama lain dengan cara memahami makna yang ada di dalamnya. (Hoed, 2011)
    Pendekatan struktural dipelopori oleh kaum formalis Rusia dan strukturalisme Praha. Teori ini mendapat pengaruh langsung dari teori saussure yang mengubah studi lingustik dari pendekatan diakronik ke pendekatan sinkronik. studi linguistik tidak lagi ditekankan pada sejarah perkembangannya, tetapi pada hubungan antar unsurnya. Masalah unsur dan antar unsur menjadi hal yang penting dalam pendekatan ini. Unsur bahasa misalnya, terdiri dari unsur fonologi, morfologi, dan sintaksis, maka dalam studi linguistik pun dikelnal adanya studi fonetik, fonemik, morfologi, dan sintaksis. Menurut John Piaget, struktur dapat diamati dalam sebuah susunan dari entitas yang terkandung dalam gagasan-gagasan fundamental yang menyertainya, antara lain: Pertama, gagasan keseluruhan (wholeness), dalam arti bahwa bagian-bagian atau unsurnya menyesuaikan diri dengan seperangkat kaidah intrinsik yang menentukan, baik keseluruhan maupun bagian-bagiannya. Kedua, gagasan transformasi (transformation), yaitu struktur tersebut menyanggupi prosedur transformasi yang terus menerus sehingga memungkinkan pembentukkan bahan-bahan baru. Ketiga, gagasan mandiri (self regulation) yaitu tidak memerlukan hal-hal dari luar dirinya untuk mempertahankan prosedur transformasinya, struktur itu otonom terhadap rujukan sistem lain.
    Adapun yang menjadi dasar-dasar semiotik struktural adalah sebagai berikut: (1). Tanda adalah sesuatu yang terstruktur dalam kognisi manusia dalam kehidupan bermasyarakat, sedangkan penggunaan tanda didasari oleh adanya kaidah-kaidah yang mengatur (langue) praktik berbahasa (parole) dalam kehidupan bermasyarakat atau bagaimana parole mengubah langue. (2). Apabila manusia memandang suatu gejala budaya sebagai tanda, maka ia melihatnya sebagai sebuah struktur yang terdiri atas penanda (yakni bentuknya secara abstrak) yang dikaitkan dengan petanda (yakni makna yang dikonsep). (3). Manusia dalam kehidupannya melihat tanda melalui dua poros yakni sintagmatik (juktaposisi tanda) dan asosiatif (hubungan antar tanda dalam ingatan manusia yang membentuk system dan paradigm). (4). Teori tandanya bersifat dikotomis yakni selain melihat tanda sebagai terdiri dari dua aspek yang berkaitan satu sama lain, juga melihat relasi antar tanda sebagai relasi pembeda “makna” atau makna diperoleh dari pembedaan. (5) analisisnya didasari oleh sebagian atau seluruh kaidah-kaidah anlisis structural yakni imanesi, pertinensi, komutasi, kompatibilitas, integrasi, sinkroni, sebagai dasar analisis diakronis dan fungsional.
    Noth (1990: 295) mengutip fages yang mengemukakan bahwa ada 7 (tujuh) kaidah analisis structural, yakni: (1). Kaidah imanesi yaitu analisis structural bersifat tertutup dan berlaku dalam jejaring system dengan perspektif sinkronis sebagai dasar. (2). Kaidah pertinensi yaitu analisis structural didasari diferensiasi dalam jejaring system, yakni makna atau identitas suatu entitas didasarkan pada nilai pembeda. (3). kaidah komutasi yaitu analisis structural dilakukan dengan metode oposisi pasangan biner (pasangan minimal yang terdiri dari dua unsure yang dioposisikan) untuk mengidentifikasi makna atau identitas. (4). Kaidah kompatibilitas yaitu analisis structural yang mengkaji hubungan kesesuaian (kompatibilitas) antar unsure dalam sebuah kombinasi sintagmatik sebagai syarat terbentuknya struktur yang berterima dan kesesuaian makna. (5). Kaidah integrasi yaitu analisis structural yang mengkaji hubungan antara unsure bawahan yang harus terintegrasi dengan yang di atasnya dalam suatu hirarki struktur-substruktur, sistem-subsistem, yang secara keseluruhan  membentuk suatu totalitas yang tertutup. (6). Kaidah diakronis yaitu analisis structural yang melihat suatu unsu dalam hubungan dengan unsure-unsur yang lain dalam struktur dan system dari segi perkembangannya dalam poros waktu. (7). Kaidah fungsi yaitu analisis structural yang mengkaji makna dan identitas sebagai fungsi unsure-unsur dalam system dalam rangka komunikasi atau fungsi-fungsi yang lain yang berkaitan dengan maknadan identitas unsur itu.
    Strukturalisme secara fundamental merupakan cara pandang seseorang tentang dunia yang dengan kekuasaannya dikhawatirkan  dengan persepsi dan deskripsi dari struktur. Ferdinand de Saussure, seorang ahli bahasa dari Swiss menekankan pada pentingnya sinkronik sebagai pembeda dari kajian bahasa diakronik merupakan momen penting sebab hal tersebut melibatkan rekognisi dari struktur bahasa sama seperti dimensi kesejarahannya. Tiap-tiap bahasa secara keseluruhan mempunyai keberadaaan terpisah dari sejarahnya. Bahasa merupakan sistem tanda yang apabila dilihat secara keseluruhan terbentuknya bahasa tersebut tidak terlepas dari dimensi sejarah, terkadang ketika kita melafalkannya dulu  akan terjadi pergeseran yang pergeserannya tanpa memperhatikan bagaimana asal usul bahasa tersebut. saussure memulai dengan pertimbangan terhadap fenomena bahasa ini dari 2 (dua) dimensi fundamental yaitu langue dan parole. (Hawkes, 2003)
    Strukturalisme lahir dari pemikiran de Saussure. Ia memperkenalkan konsep pentin yang masing-masing ditampilkan secara dikotomis yaitu (1).  Langue dan parole; (2). Sintagmatik dan paradigmatic; (3). Sinkroni dan diakroni dan (4). Signifiant dan signifie.
                Penulis telah banyak menjabarkan tentang semiotika dan atau semiotika struktur diantaranya adalah pendapat kaum strukturalis Ferdinand de Saussure. Ada banyak bahasa atau lambing-lambang yang dijadikan identitas oleh komunitas metal atau juga sebagai symbol yang menjadi pengikat antaranggotanya. Namun, pembahasan semiotika ini lebih menekankan pada simbol tanduk setan (devil horn) yang menjadi gesture bersama bagi subkultur metal ini. Yang akan dijabarkan ke dalam 4 (empat) konsep yang dikemukakan Saussure, antara lain: (Lihat juga gambar 1)


    Gambar 1. Devil Horn, The Common Gesture of Metal





    1.       Langue dan Parole
    Bahasa manusia bukan sekedar tata nama. Bahasa tidak sekedar terdiri atas kata-kata yang menamai benda atau hal-hal yang ada di dunia ini. Bahasa merupakan sistem dan struktur yang abstrak dan berada dalam kognisi masyarakat (diketahui secara kolektif). Dalam kasus ini simbol kepala banteng (devil horn) seperti gambar di atas merupakan bahasa yang dipahami oleh anggota metal sebagai wujud persembahan terhadap iblis.


    Sistem dan struktur (bahasa) itu terdapat dalam langue yang dalam praktik kehidupan masyarakat dijadikan acuan untuk melakukan komunikasi antar anggota metal misalnya ketika menonton konser atau menyanyikan lagu bernuansa metal. Sedangkan ketika lambing tersebut dipraktikkan dengan gerakan berupa jempol, jari tengah dan manis di lipat, dan telunjuk serta kelingking tetap dalam posisinya disebut sebagai parole.
    Meminjam pemikiran Roland Barthes yang juga membahas tentang semiotik struktural. Simbol tersebut merupakan denotasi (makna yang sebenarnya) ketika ia hanya sebagai gerakan tangan seperti di atas. Sedangkan ketika simbol atau lambang tersebut diletakkan dan dinamakan sebagai devil horn yang relative digunakan sebagai lambing pemujaan terhadap iblis maka makna tersebut akan mengalami sedikit pergeseran yang tidak (selalu) sama dengan makna aslinya. Media massa juga mendukung distribusi simbol ini ketika Devil Horns pertama kali dipopulerkan oleh Ronnie James Dio (Black Sabbath) sehingga akhirnya digunakan oleh para band metal dan Rock tentunya juga melalui media penyiaran (broadcasting media) sebagai salah satu upaya penyebarannya.
    2.       Sintagmatik dan Paradigmatik
    Konsep ini menyangkut relasi antar komponen dalam struktur dan sistem. Relasi sintagmatik adalah relasi antar komponen dalam struktur yang sama sedangkan relasi paradigmatik adalah relasi antar komponen dalam suatu struktur dan komponen lain di luar struktur.
    Hampir sama dengan konsep langue dan parole,  konteks sintagmatig dan paradigmatic menjelaskan bagaimana bahasa dalam kaitannya dengan struktur dan konteks. Sintagmatik berupa pemahaman linear kita tentang sesuatu atau hanya berupa penginderaan kita terhadap suatu simbol. Dalam kasus ini, sintagmatik merujuk pada penginderaan kita terhadap simbol tangan dengan jari telunjuk dan kelingking berada pada posisinya sedangkan jempol, jari tengah dan jari manis dilipat. Relasi paradigmatik kemudian akan mengkaitkan simbol tersebut dengan sesuatu di luar konteks yakni bagaimana simbol tersebut diibaratkan dengan devil horn dan iblis dimana simbol tersebut berlaku sebagai pemuja.
    3.       Sinkroni dan Diakroni
    Terkait dengan Sinkroni dan diakroni dalam analisis struktural, de Saussure mengemukakan bahwa kita dapat melihat suatu gejala kebahasaan secara sinkronis yakni pada lapisan waktu dan ruang tertentu atau secara diakronis yakni dengan melihat dengan melihat perkembangannya dari satu lapisan waktu ke lapisan waktu lapisan waktu lain.
    4.       Signifiant dan Signifie
                Signifiant adalah penanda terhadap sesuatu sedangkan signifie adalah petanda, yakni sesuatu yang ditandai oleh penanda. Dalam hal ini, gerakan berupa jempol, jari tengah dan manis di lipat, dan telunjuk serta kelingking tetap dalam posisinya adalah petanda yang kemudian ditandai dengan nama devil horn besrta konsep pengetahuan yang hadir bersamanya antara lain satanisme.

    KESIMPULAN
    Hingga saat ini, musik metal menjadi aliran musik yang masih diperhitungkan. Masifnya penyebaran musik ini ke berbagai belahan dunia menandai kehadiran globalisasi dimana batas negara bisa dilampaui secara ruang dan waktu sehingga arus informasi dan pengetahuan mengalir dalam lingkaran yang lancar dan kemudian menjadi faktor penentu produksi budaya (cultural production). Dalam penelitian terhadap metal yang dilakukan oleh Sam Dunn bersama Banger Production ini menunjukkan bagaimana perjalanan musik metal menjadi musik yang disukai oleh masyarakat global dan bagaimana faktor sejarah yang mempunyai kaitan erat dengan politik serta warisan budaya suatu komunitas tertentu mempengaruhi performa musik metal tersebut.
    Metal menjadi identitas suatu komunitas penggiat dan penggemar metal sehingga metal tidak bisa dibilang sekedar music saja. Metal adalah identitas, ia membentuk budaya. Budaya metal ini dkategorikan dalm bentuk subkultur dimana ia juga memiliki tanda dan bahasa sebagai identitas kelompok.
    Kajian terhadap music metal ini bisa dilihat dari perpektif sejarah misalnya dalam ideology politik penguasa yang tampil pada tiap lirik dan gerak. Ia sebagai wujud resistensi. Kalimat-kalimat dalam bait lagu-lagunya kebanyakan bertemakan tentang kemanusiaan, kritik terhadap korupsi dan keberadaan Negara yang memiskinkan rakyatnya, ketidakadilan terhadap hak asasi manusia, hingga pelarian dari kekangan kebebasan dan lain sebagainya. Tak hanya itu, ia kemudian menjadi salah satu agen sosialisasi budaya ketika music metal berkolaborasi dengan kebudayaan local tertentu, di Jepang misalnya ketika teater kabuki yaitu tetaer dengan para pelakon yang menggunakan dandanan (make up) untuk mengilustrasikan karakter pelakonnya dan diserap oleh para headbanger (kelompok metal) serta disajikan dalam panggung heavy metal.
    Kajian semiotika juga dapat ditinjau dari semioika struktur Ferdinand de Saussure yang banyak mengeluarkan teori tentang kemunculan bahasa. Baik kultur maupun subkultur mempunyai bahasanya sendiri yang berasal dari konvensi antar anggota dalam kelompok tersebut. Begitu juga dengan kemlompok metal, mereka mempunyai bahasanya sendiri sebagai tanda bahwa mereka berasal dari kelompok tersebut misalnya yang paling kentara adalah penampilan seperti gaya rambut, gaya panggung, gesture, gerakan ketika mendengarkan music dengan headbanging walaupun hal ini tergantung pada wilayah mana tempat kelompok metal tersebut hidup namun intinya hal ini menunjukkan bahwa mereka mempunyai bahasa bersama untuk membentu suatu identitas bersama (common identity).

    Daftar Pustaka


    Andrew Edgar, P. S. (2008). Cultural Theory: The Key Concepts. New York: Routledge.
    Anne Cooper-Chen. (2005). Global Entertainment Media: Content, Audiences, Issues. London: Lawrence Erlbaum Associates.
    Attali, J. (1985). Noise: The Political Economy of Music. Minneapolis: University of Minnesota Press.
    cracked.com. (n.d.). Retrieved March 30, 2012, from http://www.cracked.com
    Hawkes, T. (2003). Structuralism and Semiotics (2nd ed.). London: Routledge.
    Hebdige. (1979). Subculture: The Meaning of Style. New York: Routledge.
    Hoed, B. H. (2011). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya (2 ed.). Depok: Komunitas Bambu.
    Lucas, C. (n.d.). White Power, Black Metal and Me.
    Reem Saouma. (2007). Cultural Heritage and History in the Metal Scene.






    [1] Jacques Attali, Noise: The Political Economy of Music, University of Minnesota Press, Minneapolis, 1985, hlm.6
    [2] Dalam artikel yang berjudul “White Power, Black Metal and Me:Reflection on Composing The Nation” ditulis oleh Caroline Lucas
    [3] http://www.cracked.com
    [4] Lih.  Anne Cooper Chen, 2005, Global Entertainment Media: Content, Audiences, Issues, London, hlm. 183-184
    [5]Hebdige, 1979, Subculture: The Meaning of Style, New York, hlm. 77
    [6] Counterculture merujuk pada budaya dari suatu kelompok yang memiliki kemampuan dalam mengajukan pembenaran intelektual dan dalil dari posisi mereka. Subkultur merujuk pada kelompok yang mengartikulasikan sikap oposisi mereka melalui gaya berpakaian dan pola perilaku (atau ritual) tertentu. Lihat Andrew Edgar dan Peter Sedgwick, 2008, Cultural Theory: The Key Concepts, Routledge, New York, hlm. 340-342.

  2. 2 comments:

    1. Unknown mengatakan...

      mantap.....

    2. Thank you for sharing this great information, it was really helpful....

    Posting Komentar