Sari Riantika Damayanti [2]
Budaya popular selalu menjadi tema sentral dalam pembahasan mengenai kekuasaan. Pembahasan mengenai keduanya terkait dengan adanya fenomena krisis hegemoni antara lain: kesulitan negara untuk menghasilkan legitimasi dan kesepakatan dan kesulitan dari perubahan yang marak terjadi (popular movement) seputar kegagalan mereka dan bagaimana cara mereka memberi alternatif yang dapat dimanfaatkan. Selain itu, hal ini juga berkaitan dengan krisis epistemological antara lain: kepayahan sebuah paradigma ekonomi yang gagal mengendalikan kekuasaan berbasis budaya dan unsur non-ekonomi yang memobilisasi masyarakat. Akan tetapi jika kita telah mempunyai paradigma yang cocok dengan pemahaman masyarakat atau dengan cara negara diberikan hak untuk mengintervensi dalam jangka panjang maka krisis seperti ini tidak akan terjadi.
Kekuasaan memiliki relasi erat dengan kebudayaan dimana suatu kekuasaan tertentu seringkali mengusung sistem budaya tertentu pula. Seseorang yang memiliki kapabilitas sebagai penguasa dapat menanamkan nilai-nilai yang dia anut ke dalam tubuh masyarakat. Sehingga seiring perkembangannya, redupnya suatu kekuasaan juga berpotensi meredupkan budaya apa yang ia bawa sebelumnya. Simbol-simbol yang menjadi identitas kekuasaan perlahan-lahan mulai hilang. Kekuasaan juga merupakan produk budaya dan setiap bangsa bahkan setiap rezim yang berkuasa memiliki karakter khas masing-masing dari nilai-nilai yang beredar. Setiap budaya tidak akan dapat bertahan tanpa ditopang oleh suatu kekuasaan. Begitu pula sebaliknya sebab kekuasaan sebuah rezim membutuhkan identitas dan kebudayaan kemudian diberdayakan sebagai alat kekuasaan. Secara tidak langsung kebudayaan yang ditekankan ini akan menghegemoni masyarakat sehingga ada sebuah absolutisme dalam persepsi masyarakat terhadap kebudayaan tersebut.
Menyelipkan budaya dalam kekuasaan adalah salah satu bentuk hegemoni. Sejak berjayanya tindakan pengekangan dan kebutuhan ekonomi membuat kita menghadapi krisis dengan segala bentuk strategi dari modernisasi dan perubahan sosial: developmentalism, populism, marxisme. Sehingga timbul pemahaman baru bahwa budaya tidak hanya merupakan alasan spekulatif dalam ulasan sastra tapi juga sebagai tema sentral dari beberapa ilmu sosial utama dan pada setiap suatu pertemuan baik dalam skala nasional maupun internasional menganalisa hubungan keduanya untuk perkembangan dan kekuasaan. Dari ini semua, kepentingan dalam budaya popular semakin meningkat misal: sebuah museum didirikan untuk memamerkan artefak-artefak kebudayaan sebagai hasil dari kekuasaan suatu rezim, pusat penelitian mendirikannya untuk mengenal mereka, negara dan organisasi dominan menciptakannya agar bisa memperkenalkan ekspansi mereka.
Krisis epistemological membohongi hal-hal yang bersifat empiris seda ngkan melampaui krisis hegemoni ini kita menghadapi tugas-tugas dalam mengkonstuksi suatu negara dan masyarakat dengan tujuan demokratis dimana kumpulan-kumpulan ini akan membentuk keberagaman dan ketidaksetaraan antar kelas, etnik dan wilayah yang akan mereduksi mereka kedalam sebuah perbedaan.
Terdapat 2 (dua) prisip strategi teoritis yang merupakan metode untuk memahami budaya popular yaitu deduktivisme dan induktivisme. Seseorang yang mendefinisikan budaya popular sebagai perubahan dari umum ke khusus atau dari general ke partikular, berdasarkan hal-hal yang ditonjolkan dari udaya tersebut seperti model produksi, imperialisme, kelas-kelas dominan, ideologi-ideologi aparat atau media massa. Intinya pendekatan konseptual ini dengan segala aspek kehidupan popular turun dari kekuasaan makrososial telah menandai mayoritas dari kajian sociological,communication, dan educational selama 2 abad terakhir. Sebaliknya induktivist berpikir kebalikan yaitu budaya popular diawali dengan beberapa hal yang sifatnya intrinsik menjadi kelas-kelas subordinat atau dengan kamampuan luar biasanya dalam berpikir atau dengan kreativitas yang bidang-bidang lain dari populasi ini telah hilang atau dengan perlawanan terhadap kekuasaan sebagai bentuk dari resistansi. Antropologi dan folklore yang dalam beberapa dekade terakhir menjadi disiplin ilmu empiris untuk mempelajari hal-hal popular telah berkontribusi untuk mengidentifikasinya dengan hal-hal yang tradisional.
Untuk menganalisa budaya harus ekuivalen pada penggambaran mengenai manuver-manuver dari tekanan yang dominan. Marxisme dengan paham strukturalisnya dan semiologicalnya berupaya untuk lebih cekatan dalam menganalisa sebuah kekuasaan yang curang daripada menetapkan pertanyaan tentang model ini yang didasarkan tuntutan kebutuhan oleh objek baru dalam kajian. Teori ketergantungan (dependency theory) menyediakan makna bagi kkritik dari dominasi atau tentang imperialism dan manipulasi kesadaran.