Rss Feed
  1. 1.19.2012

    MENGECAP “BIKA AMBON” SEBAGAI TANDA DAN MAKNA DENGAN MENDALAMI PEMIKIRAN CHARLES SANDERS PEIRCE[1]


    OLEH: SARI RIANTIKA DAMAYANTI / 209000056[2]



    Bika Ambon merupakan salah satu panganan tradisional Indonesia yang berasal dari Medan, Sumatera Utara[3]. Meskipun terdapat kata Ambon[4] dalam penamaannya, Bika Ambon justru dikenal sebagai oleh-oleh khas Medan.
    Tidak ada referensi jelas mengenai asal muasal Bika Ambon ini, namun dengan konsep semiotika diharapkan bisa membuka wacana teoritis kita dalam mengkaji Bika Ambon sebagai upaya memahami makna tanda.

    Semiotik adalah ilmu yang mengkaji tanda dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus kita beri makna.[5] Semiotik yang sering didefinisikan sebagai ilmu tanda (science of signs) masih merupakan definisi umum sebab keduanya -baik ilmu maupun tanda- dapat ditafsirkan dalam berbagai cara yang berbeda. Sejumlah besar konseptualisasi terhadap semiotik masih bersifat abstrak, tidak seperti sejumlah besar konseptualisasi mengenai bahasa yang tingkatannya lebih konkret sehingga dapat dikatakan bahwa semiotik adalah kajian tentang produksi tanda dan bagaimana penggunaan tanda itu sendiri.[6] Semiotika bukan mengajarkan tentang apa yang harus kita pikirkan, melainkan bagaimana kita berpikir dan menggali sesuatu yang ada di bawah permukaan (tersembunyi atau yang disembunyikan).

    Perihal mengupas masalah mengenai tanda (signs) ini, terdapat beberapa aliran yang dimunculkan oleh beberapa tokoh salah satunya antara lain: strukturalis dan pragmatis. Para strukturalis, merujuk pada Ferdinand de Saussure (1916) melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk (yang tercitra dalam kognisi seseorang) dan makna (atau isi, yakni yang dipahami oleh manusia pemakai tanda). Dengan demikian de Saussure dan para pengikutnya (antara lain Roland Barthes) melihat tanda sebagai sesuatu yang menstruktur dan terstruktur di dalam kognisi manusia. Sehingga hubungan antara bentuk dan makna tidak bersifat pribadi tetapi sosial, yakni didasari oleh kesepakatan (konvensi) sosial. Kemudian para pragmatis seperti Charles Sanders Peirce (1931-1958) melihat tanda sebagai “sesuatu yang mewakili ses

    uatu” bahwa sesuatu itu dapat berupa hal yang konkret melalui suatu proses mewakili sesuatu. Dalam teorinya Pierce melihat bahwa tanda terdiri dari representament yaitu suatu “perwakilan”, object (sesuatu yang ada dalam kognisi manusia), dan interpretant (proses penafsiran).[7] Meskipun berangkat dengan konsep yang berbeda, Saussure dengan teorinya yang bersifat dikotomis dan struktural sedangkan Peirce dengan teorinya yang bersifat trikotomis dan pragmatis, keduanya memiliki persamaan terhadap pencarian konsep representasi yang mewakili realitas. Selain Saussure dan Peirce masih banyak para ahli yang memusatkan kajiannya pada tanda dan makna ini misalnya Roland Barthes atau Derrida dan seterusnya.

    Merujuk pada konsep semiotika, makanan juga merupakan suatu sistem tanda dimana ia memiliki pengertian lebih kepada budaya kapital, subjektivitas, gender dan atau kelas sosial daripada sekedar tentang mengisi perut. Misalnya budaya kapital pada makanan (cultural capital food) adalah bagian yang sangat visibel dari budaya konsumer yakni sebagai sebuah kiasan dari "rasa" yang ditawarkan atau selera yang dibangkitkan. Hal ini memainkan peranan penting dalam menciptakan budaya kapital yang dicontohkan oleh Pierre Bourdieu antara lain seperti: table manners, fashion for sun-dried tomatoes, mengetahui cara menyandingkan jenis wine yang tepat untuk jenis makanan tertentu atau bahkan dengan makanan dapat menunjukkan identitas kita “we are what we it” artinya melalui makanan yang kita konsumsi dapat meberi penjelasan mengenai diri terkait dengan kelas, gender, dan atau demografis tertentu. Ini merupakan suatu sistem tanda yang saat ini telah terinternalisasi menjadi sebuah kewajaran.[8]

    Kenapa disebut Bika Ambon? Padahal ia merupakan makanan khas Medan? Kenapa tidak Bika Medan saja? Tidak hanya satu atau dua orang yang bertanya mengenai hal ini sebab nama dari jenis makanan ini cukup membingungkan. Orang yang baru pertama kali mendengar nama makanan ini kemungkinan besar akan mengira bahwa Bika Ambon adalah makanan tradisional Maluku bukan Medan. Ada beberapa alasan yang diyakini oleh sekelompok orang atau bisa jadi disebut mitos seputar Bika Ambon, antara lain:

    1. Di Medan terdapat penjual Bika yang katanya paling enak dan terkenal dan berada di Jalan Ambon. Itu sebabnya dinamakan Bika Ambon sama halnya seperti daerah Pathuk di Yogyakarta yang terkenal akan bakpia sehingga bakpianya dikenal dengan Bakpia Pathuk. Jadi Bika Ambon artinya Bika yang ada di Jalan Ambon, bukan bika dari Ambon.

    2. Tekstur serat kue yang berbentuk "keriting kecil-kecil" dikatakan mirip dengan jenis rambut orang Ambon, sehingga dinamakan Bika Ambon.

    3. Ada yang mengira bahwa kue ini pertama diperkenalkan oleh orang Ambon dan mendapat respon yang sangat bagus oleh warga Medan dibandingkan di Ambon itu sendiri.[9]

    Berkaitan dengan itu untuk menganalisa tanda dan makna yang terdapat dalam makanan “Bika Ambon” ini dapat menggunakan perspektif yang relevan yaitu menggunakan pemikiran pragmatis dari Charles Sanders Pierce. Mengapa? Karena berbeda dengan Saussure, Pierce sudah memasukkan elemen kognitif yang membantu proses pemaknaan sesuatu.

    Dalam terminologi Pierce, dapat dikatakan bahwa TANDA (SIGN) dalam pengertian luas terdiri dari 3 (tiga) elemen-elemen yang saling terkait di antaranya (representament, object and interpretant):[10]

    1. Tanda dalam pengertian sempit yang juga disebut dengan representamen. Pierce mengatakan bahwa:

    A sign, or representamen, is something which stands to somebody for something in some respect or capacity. It addres

    ses somebody, that is, creates in the mind of that person an equivalent sign, or perhaps a more developed sign. That sign which it creates I call the interpretant of the first sign. The sign stands for something, its object. Its stands for that object, not in all respects, but in reference to a sort of idea, which I have sometimes called the ground of the representamen.

    Jadi yang dikatakan Pierce sebagai representamen ini adalah wujud atau keberadaan dari suatu benda ini sendiri yang kemudian dapat mengarahkan pada tahap selanjutnya (object and interpretant). Dalam hal ini bentuk kue Bika Ambon yang berwarna kuning dan memiliki tekstur yang berlubang-lubang atau sebuah bentuk utuh yang dilihat oleh mata manusia dan yang berhasil dia inderakan dinamakan representamen.

    2. Objek (object) adalah simbol atau tanda yang mewakili sesuatu melalui representasi atau wujud dari sesuatu tersebut. Apa yang kita inderakan dari tanda atau representamen diciptakan oleh proses dasar dari panca indera (sensory) dan sistem saraf kita sehingga dalam proses menyerap representamen tersebut juga terjadi mekanisme atau proses mental di dalamnya.

    Hubungan kita dengan dunia sekitar dan fisik kita dimediasi oleh tanda-tanda. Hal ini menjadi sangat jelas yang terlihat pada kasus-kasus seperti penderita neurofisiologis, cacat kontingental. Misalnya orang buta tidak dapat membentuk representasi visual dari objek-objek eksternal atau penderita buta warna yang mempunyai keterbatasan dalam membedakan karakteristik gambar tertentu. Sehingga melalui hal ini menunjukkan sesuatu yang berada dalam diri kita dapat mempengaruhi kelanjutan proses dari operasionalisasi tanda ini (interpretant).

    Peirce juga mengemukakan bahwa prses semiosis[11] pada dasarnya tidak terbatas sebab tergantung bagaimana jajaran kognisi kita bekerja sehingga sebelum individu menginterpretasikan sesuatu, ia terlebih dahulu mempunyai ground, empirik, atau pra-pengetahuan yang akan dilibatkannya dalam proses pemaknaan nanti.

    Dalam hal ini, Bika Ambon yang ditunjukkan oleh asumsi bahwa penamaannya dikarenakan tekstur serat kue yang "keriting kecil-kecil" dan mirip dengan rambut orang Ambon merupakan pemahaman mengenai karakteristik orang ambon itu sendiri yang telah diketahui oleh interpreter atau pada asumsi lain seperti nomor 1 (satu) dan 3 (tiga) (lihat halaman 3) juga menunjukkan adanya pemahaman dan pengetahuan interpreter sebelum ia menamai kue yang berwarna kuning ini dengan Bika Ambon bahwa lokasi dimana mereka biasa membeli makanan tersebut berada di Jalan Ambon atau memperkirakan adanya orang Ambon yang memperkenalkan makanan jenis ini pertama kali di Medan dan yang pada akhirnya banyak disukai di sana. Dari asumsi tersebut sangat jelas menunjukkan bahwa implikasi pola pikir atau konsep yang terbentuk dalam kepala kita yang berasal dari indera kita dalam menyerap tanda berpengaruh terhadap tafsir yang kita lakukan.

    3. Meaning atau makna yang menjelaskan sesuatu tersebut, atau translasi dalam sebuah tanda baru yang disebut dengan interpretant. Dari ketiga elemen ini, interpretant adalah tingkatan proses yang paling abstrak dari keduanya.Interpretant adalah proses dimana individu telah membuat pemahaman mengenai sesuatu (dari pengalaman indra mereka terhadap tanda dan konsep yang terlebih dahulu dimilikinya). Jadi, ketika kita menyebutkan Bika ambon atau melihat wujud atau fisiknya maka kita akan mengerti bahwa yang dilihat itu adalah Bika Ambon beserta pemaknaan kita terhadapnya. Pemaknaan setiap individu atau proses interpretant ini akan berbeda-beda karena Pierce juga menyebutkan bahwa proses semiosis pada dasarnya tidak terbatas maka interpretan pun bisa menjadi representamen baru.

    Oleh karena itu, dari ketiga rangkaian yang disebutkan Pierce di atas, Bika Ambon baik itu penamaannya yang disusun oleh individu sebagai satu kesatuan dengan makna telah mengalami ketiga proses tersebut. Individu memberikan penamaan dan pemaknaan sesuai dengan apa yang mereka lihat dan apa yang mereka ketahui sebelumnya.



    [1] Tulisan ini dikerjakan untuk memenuhi Ujian Tengah Semester (UTS) mata kuliah Semiotika Media. Dosen: Yuka Dian Narendra.

    [2] Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina Jakarta

    [3] Medan adalah nama ibukota provinsi Sumatera Utara dan berada di ujung pulau Sumatera dekat provinsi Nangroe Aceh Darusalam, Indonesia bagian barat.

    [4] Ambon adalah nama ibukota provinsi Maluku yang berada di Kepulauan Maluku, di selatan Pulau Seram, Indonesia bagian timur.

    [5] Benny Hoed, 2008, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, hlm. 3

    [6] Leo Van Lier, 2004, The Ecology and Semiotics of Language Learning: A Sociocultural Perspective, Boston hlm. 55

    [7] Loc.cit, hlm. 3-4

    [8] The Semiotics of Food diambil dari www.eng.umu.se/culturec/FOO

    [9] Disarikan dari beberapa sumber, antara lain: http://www.indonesiasearchengine.com http://id.answers.yahoo.com/, http://woman.kapanlagi.com/, http://forum.detik.com/ dan wawancara kepada beberapa orang yang berasal dari Sumatera Utara.

    [10] Jorgen Dines Johansen, et al, 2005, Sign in Use: An Introduction to Semiotics, New York, hlm. 26-30

    [11] Semiosis adalah model yang menjadi dasar pemaknaan tanda.


  2. 0 comments:

    Posting Komentar