Rss Feed
  1. Sari Riantika Damayanti
    Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina
    Jakarta 2011


    1.   Komunikasi antar budaya (intercultural communication) adalah komunikasi yang terjadi apabila sebuah pesan (message) yang harus dimengerti dihasilkan oleh anggota dari budaya tertentu untuk konsumsi anggota dari budaya yang lain (Samovar & Porter, 1994, p. 19).
    2.   Menurut Liliweri, proses komunikasi antar budaya merupakan interaksi antarpribadi dan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda (2003, p. 13).
    3.  Menurut Stewart L. Tubbs, komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi).
    4.  Menurut Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi antarbudaya sebagai human flow across national boundaries. Misalnya; dalam keterlibatan suatu konfrensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain.
    5.   Menurut Fred E. Jandt mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka diantara orang-orang yang berbeda budayanya.
    6.    Menurut Guo-Ming Chen dan William J. Sartosa mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok.
    7.   Komunikasi antarbudaya selalu mengacu pada proses komunikasi antara anggota komunitas yang berbeda budaya (contoh negosiasi bisnis antara seorang importer Belanda dengan eksporter Indonesia). Secara ringkas, dalam komunikasi antar budaya, terdapat derajat perbedaan antara individu yang diturunkan dari faktor-faktor kelompok budaya tertentu seperti keyakinan, nilai-nilai, norma-norma, dan naskah interaksi, dalam istilah komunikasi antar kelompok, ini merupakan tingkat perbedaan yang ada pada kelompok-kelompok secara umum (seperti. etnisitas, gender, dan kelas sosial).
    8.   Komunikasi antar budaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berasal dari budaya atau latar belakang sosial yang berbeda.
    9.   Menurut Sitaram (1970), komunikasi multicultural adalah sebuah seni untuk memahami dan saling pengertian antara khalayak yang berbeda kebudayaan.
    10.  Komunikasi antarbudaya dalam prinsip tindakan sosial dibayangkan sebagai sebuah persoalan dari tindakan sosial, bukan sistem dari representasi atau pemikiran atau nilai-nilai.[5]

    Referensi Buku
    Anderson, Sandra, dkk. 2006. Dictionary of Media Studies. London: A & C Black
    Scollon, Ron. 2001. Intercultural Communication A Discource Approach. USA: Blackwell Publisher
    Tomey, Stella Ting. 1999. Comunicating Across Culture. London: The Guildford Press
    Referensi Internet
    http://www.kuliahkomunikasi.com/ diakses pada Rabu, 21September 2011 pukul 15.15
    http://jurnal-sdm.blogspot.com/ diakses pada Rabu, 21 September 2011 pukul 15.05
    http://aton29.wordpress.com/ diakses pada Rabu, 21 September 2011pukul 15.10



  2. Sari Riantika Damayanti
    Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikasi, Universitas Paramadina
    Jakarta 2011

    Tindakan non-verbal sangat erat kaitannya dengan konteks budaya.Salah mengartikan tindakan non verbal dari orang-orang dengan budaya yang berbeda merupakan hal yang umum terjadi. Misalnya di Irak, jangan pernah berpikir bahwa mengacungkan jempol di Irak berarti wujud ekspresi dari sambutan hangat atau apresiasi positif terhadap seseorang karena di Irak tanda acungan jempol itu sama artinya dengan tanda mengacungkan jari tengah di Amerika dan masih banyak contoh lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun banyak komunikasi non-verbal yang sifatnya universal, banyak tindakan non-verbal yang dibentuk oleh budaya.
    Dalam terminologinya, komunikasi non verbal merupakan proses komunikasi dimana pesan disampaikan tidak menggunakan kata-kata. Contoh komunikasi nonverbal ialah menggunakan gerak isyarat, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan kontak mata, penggunaan objek seperti pakaian, potongan rambut, dan sebagainya, simbol-simbol, serta cara berbicara seperti intonasi, penekanan, kualitas suara, gaya emosi, dan gaya berbicara.
    Sejak lahir hingga akhir hayat manusia, komunikasi non verbal merupakan sistem simbol yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Bayi mulai memahami kata-kata ketika umur 6 bulan, akan tetapi sebelum usia tersebut sebenarnya ia sudah mengerti komunikasi non verbal. Walaupun komunikasi nonverbal bersifat omnipresent (ada di mana-mana) namun ia merupakan resep penting dalam interaksi manusia.
    Komunikasi nonverbal adalah cara dasar untuk menyatakan apa yang dipikirkan dan dirasa seseorang. Unuk itu, ada beberapa penggunaan tindakan non verbal yang penting untuk disebutkan, yaitu :
    1. Mengartikan Keadaan Internal
    Komunikasi non verbal merupakan media untuk mengekspresikan emosi dan juga informasi yang spesifik.Seperti yang dikatakan Morreale, Spitzberg dan barge bahwa “Manusia menggunakan pesan non verbal untuk menjelaskan keadaan sosial dan emosi dari hubungan dan interaksi.
    2. Menciptakan Kesan
    Komunikasi non verbal penting karena dapat menciptakan kesan. Misalnya dengan memperhatikan penampilan ketika hendak melakukan sesuatu, seperti hedak wawancara atau kencan penting dan lain-lain. Dan bagaimana cara kita menilai orang dari warna kulit, usia, gender, ekspresi wajah, cara berpakaian dan aksen dan bahkan cara berjabat tangan adalah salah satu peran penting dari komunikasi nonverbal dalam menciptakan kesan.
    3. Mengatur Interaksi
    Tindakan non verbal baik disengaja atau pun tidak dapat memberikan petunjuk mengenai percakapan kita yakni tentang bagaimana seseorang memulai percakapan dan mengakhiri pembicaraan atau bagaimana urutan atau giliran berbicara dan bagaimana seseorang dapat memiliki kesempatan berbicara dan lain sebagainya.

    Menjelaskan Komunikasi Nonverbal
    Komunikasi non verbal meliputi semua stimulus non verbal dalam sebuah situasi komunikasi yang dihasilkan, baik oleh sumbernya maupun penggunanya dalam lingkungan dan yang memiliki nilai pesan yang potensial untuk menjadi sumber atau penerima. Adapun batasan, proses serta peranannya dapat disederhanakan sebagai berikut:
    1. Pesan yang disengaja dan yang tidak disengaja
    Terkadang kita mengirimkan pesan non verbal secara tidak sengaja, misalnya mengerutkan dahi karena silaunya matahari, mungkin membuat seseorang salah mengerti bahwa anda marah.
    2. Komunikasi Verbal dan Nonverbal
    Komunikasi non verbal merupakan aktivitas multidimensi artinya komunikasi non verbal tidak terjadi sendiri, namun biasanya dengan pesan verbal, misalnya tindakan menggeleng disertai dengan kata-kata tidak dan lain sebagainya.

    Mempelajari Komunikasi Nonverbal
    Karena pembelajaran komunikasi non verbal sudah menjadi bagian dari “budaya popular” maka banyak orang memandang remeh dan menyalahartikan pelajaran yang kompleks ini, sehingga dalam topik ini akan dibahas beberapa masalah penting dan konsep yang potensial tentang komunikasi non verbal ini, Yaitu:
    1. Komunikasi Nonverbal dapat Bersifat Ambigu
    Terkait dengan pesan yang disengaja dan tidak disengaja, kita perlu menyadari bahwa komunikasi nonverbal dapat memiliki derajat ambiguitas –bermakna ganda- dimana tindakan nonverbal yang kita ekpresikan dapat ditafsirkan berbeda oleh orang lain. Sebagian ambiguitas ini terjadi karena komunikasi non verbal berdasarkan konteks.Misalnya ketika kita sedang berjalan dan tiba-tiba seseorang menyenggol kita dari arah belakang dan untuk motifnya kita sendiri tidak bisa langsung mengetahui apakah hal tersebut merupakan tindakan yang disengaja atau tidak.
    2. Faktor-faktor yang Memengaruhi Komunikasi Nonverbal
    Komunikasi nonverbal dapat dipengaruhi oleh banyak factor diantaranya: latar belakang budaya, latar belakang sosial ekonomi, pendidikan, gender, usia, dan juga kecenderungan pribadi. Artinya tidak semua orang dalam budaya tertentu melakukan tindakan non verbal yang sama.
    3. Komunikasi nonverbal bersifat kontekstual
    Situasi atau informasi yang berbeda akan menghasilkan pesan non verbal yang bebeda pula. Misalnya bagaimana kita bertingkah laku ketika sedang berada di rumah akan berbeda dengan tindakan yang kita lakukan ketika sedang berada di tempat umum, dan lain sebagainya.

    Komunikasi dan Budaya Nonverbal
    Rosenblatt menyatakan bahwa budaya mengajarkan kita tindakan non verbal apa yang ditunjukkan, arti dari tindakan tersebut dan latar belakang kontekstual dari tindakan tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa komunikasi nonverbal memeainkan peranan penting dalam interaksi komunikasi antara orang-orang dari budaya yang berbeda.
    Dengan memahami perbedaan budaya dalam perilaku nonverbal, kita tida hanya akan dapat memahami beberapa pesan yang dihasilkan selama interaksi, namun kita juga akan dapat mengumpulkan petunjuk mengenai tindakan dan nilai yang mendasarinya.

    Klasifikasi Komunikasi Nonverbal
    Pesan yang dihasilkan oleh setiap kategori tidak berdiri sendiri, namun hadir bersamaan dengan pesan dari kategori yang lain yakni seprti pesan verbal, konteks, dan manusia sebagai penerima pesan.
    Banyak klasifikasi membagi pesan non verbal ke dalam dua kategori komprehensif yaitu yang dihasilkan oleh tubuh (penampilan, gerakan, ekspresi wajah, kontak mata, sentuhan, dan parabahasa) dan hal-hal seperti ruang lingkup (tempat, waktu dan sikap diam).
    1. Perilaku Tubuh
    Komunikasi nonverbal yang dihasilkan oleh pengaruh tubuh ini antara lain mencakup: (a). pengaruh penampilan yakni kekuatan komunikasi untuk mendekatkan atau menjauhkan orang lain berasal dari bagaimana kita berpenampilan juga dari bahasa yang kita pergunakan, (b). menilai keindahan artinya apa yang dianggap indah pada suatu budaya belum tentu bagi budaya lainnya, (c). pesan dari warna kulit yamh bisa dijadikan penanda ras, (d). pesan dari pakaian, selain sebagai pelindung pakaian juga bentuk komunikasi. Pakaian dapat digunakan untuk menampilkan status ekonomi, pendidikan, status sosial, standar moral, dll, (e). gerakan tubuh (kinesik) yaitu bagaimana manusia berdiri, duduk dan berjalan memiliki pesan non verbal yang kuat atau juga dengan menyilangkan jari, mengacungkan jempol ke atas atau ke bawah, membuat lingkaran dengan tangan, menunjuk seeorang dll dapat memberikan arti tertentu sesuai konteksnya, (f). postur, postur sama pentingnya dengan wajah dalam menyatakan emosi seperti rasa takut. Di Jepang bungkukan yang sangat dalam menandakan rasa hormat.
    2. Ekspresi wajah
    Bayipun sebelum mengenal kata-kata pada usia 6 bulan sudah mampu membedakan ekspresi dengan melihat perubahan wajah orang tuanya.
    3. Kontak mata dan tatapan
    Mata sangat penting dalam komunikasi. Bahkan kalau di Amerika Serikat kurangnya kontak mata antara pasien dan penyedia jasa kesehatan akanmenimpulkan protes atau komplain. Budaya yang menggunakan kontak mata langsung antara lain seperti:Negara-negara Timur Tengah, Perancis, Jerman, dll. Sedangkan budaya yang menggunakan kontak mata sedikit antara lain seperti Korea, Jepang, Afrika, Pribumi Amerika, India Timur, dll.
    4. Sentuhan
    Sentuhan pun merupakan sarana komunikasi baik disentuh maupun menyentuh suatu objek tertentu.
    5. Parabahasa
    Nada suara manusia lebih dahsyat dari dawai atau seruling untuk menggerakkan jiwa terutama dalam 3 kategori berikut: (1). Kualitas vocal, (2). Karakteristik vocal dan (3). Pembeda vokal
    6. Ruang dan Jarak
    Budaya memiliki pandangan dan penggunaan yang berbeda terhadap ruang gerak pribadi, tempat duduk dan pengaturan perabotan (mebel).
    7. Waktu
    Kita dapat memahami nilai budaya menegnai waktu dengan mempelajari bagaimana anggota suatu budaya memandang waktu seperti kecepatan dan ketepatannya terhadap waktu yang sangat jarang diajarkan secara eksplisit, melainkan berjalan di bawah alam sadar. Suatu konsepsi budaya mengenai waktu dapat diuji dari 3 (tiga) perspektif berbeda: (1). waktu informal, (2). persepsi mengenai masa lalu, masa kini, dan masa depan, (3). Klasifikasi monocronic dan polychronic milik Hall.
    8. Sikap diam
    Peribahasa Afrika menyatakan “Dalam diam kita dapat berkata-kata” artinya sikap diam dapat mengirimkan petunjuk nonverbal mengenai situasi komunikasi dimana anda berpartisipasi.Sikap diam juga membantu menyediakan umpan balik, menginformasikan baik penerima maupun pengirim mengenai kejelasan ide atau pentingnya hal tersebut dalam interaksi interpersonal secara keseluruhan.Penggunaan keheningan ini juga bervariasi dari satu budaya dengan budaya lainnya. Misalnya di Inggris, sikap diam akan diartikan sebagai ketidakyakinan, sedangkan di Igbo dianggap sebagai suatu penolakan.



    [1] Ulasan tentang Komunikasi Non-verbal: Pesan dari Tindakan, Tempat, Waktu dan Sikap Diam dikerjakan untuk memenuhi tugas mata kuliah Multikultural dengandosen pengampu: Nur Idaman. Kelas Kamis pagi jam 07.00-09.30 WIB.
    [2] Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikas Universitas Paramadina, Jakarta Selatan.

  3. Budaya, Komunikasi dan Hubungan Antar Budaya[1]


    Oleh: Sari Riantika Damayanti[2]


    Komunikasi multikultural atau antar budaya merupakan interaksi komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini). Menurut Stewart L. Tubbs, komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi).

    Adapun komunikasi antarbudaya itu dapat dilakukan dengan cara antara lain sebagai berikut:

    1. Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan;

    2. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung daripersetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama;

    3. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita;

    4. Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan pelbagai cara.

    Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi. Perbedaan budaya yang mengandung nilai-nilai, norma, ideologi dan tatanan hidup sesuai pedoman yang dipilih secara sadar (consciousness) terinternalisasi dalam diri masing-masing sejak kecil hingga dewasa. Internalisasi tersebut akan sangat berpengaruh dalam proses komunikasi interpersonal yang dibangun ke dalam hubungan antar budaya. Pengembangan hubungan akan selalu dibangun atas dasar perbedaan. Untuk itu, komunikasi merupakan cara penting dalam pengembangan hubungan antar budaya. Hal itu juga tidak bisa dipisahkan dari peran konteks -social, hisroris, dan politik- yang memengaruhi hubungan tersebut.

    Masing-masing budaya berbeda antara satu dengan yang lainnya, jal ini dapat terlihat dari beberapa komponen berikut meliputi: umur, kemampuan fisik, gender, etnisitas, kelas sosial, agama, ras ataupun kebangsaan. Hal yang paling penting untuk membangun dan memelihara hubungan terutama dalam hubungan antar budaya ini adalah dengan tetap memelihara keseimbangan antara perbedaan dan kesamaan karakter di antara keduanya.

    Keuntungan dan Tantangan dari Hubungan Antar Budaya

    Hubungan komunikasi antar budaya mampu memberikan keuntungan dalam aktualiasasinya misalnya terhadap peningkatan pengetahuan dan cara peandang seseorang tentang dunia melalui orang-orang baru dari budaya yang baru dijumpai, mendapatkan pembuktian untuk mematahkan berbagai stereotipe yang adaserta memperoleh keterampilan (skill) tentang bagaimana melakukan suatu hal baru.

    Selain itu, hubungan antar budaya juga tidak bisa dilepaskan dari berbagai tantangan misalnya perbedaan-perbedaan idiosinkratik tidak akan banyak menimbulkan efek ketika hubungan antar budaya tersebut dibangun pada tahapan awal. Namun, ketika akan memasuki tahapan yang lebih intim/mendalam, maka terciptalah proses negosiasi dan interaksi antara perbedaan-perbedaan denganpersamaan-persamaan yang ada.Selain itu, perbedaan- kultural sudah menjadi suatu hal yang pasti dan diberikan secara turun temurun, sehingga tantangannya adalah bagaimana cara menemukan dan membangun kesamaan-kesamaan dibalik berbagai perbedaan misalnya dengan membangun rasa ketertarikan atau kepentingan bersama, aktivitas, kepercayaan dan tujuan akhir yang sama.

    Stereotipenegative tentang suatu budaya juga seringkali terjadi sehingga sering salah mempersepsi, salah melakukan penerimaan pesan, dan kemudian terjadi proses pelabelan negatif terhadap budaya tertentu. Selain itu, adanya kecemasan-kecemasan pada tahap awal komunikasi dan membangun hubungan juga menjadi tantangan tersendiri.Perbedaan itu tidak hanya dalam hal etnisitas dan penampilan secara fisik, tetapi juga kelas dan status sosial nya dalam masyarakat. Ekspektasi-ekspektasi yang berlebihan terhadap kultur masyarakat budaya lain yang tidak berkesesuaian dengan ekspektasi awal pada akhirnya akan menimbulkan kekecewaan yang berujung pada munculnya konflik dan stereotipe.

    Di samping itu, bagaimana cara kita untuk menjelaskan tentang diri kita sendiri di hadapan orang yang berbeda latar budaya juga memberikan tantangan tersendiri. Alasan-alasan itulah yang kemudian akan membentuk pola komunikasi dan hubungan antar budaya seseorang.

    Kesenjangan Budaya dalam Persahabatan

    Perbedaan cara pandang budaya dalam hubungan pertemanan dapat disebabkan oleh adanya identitas dan nilai-nilai yang dianut masyarakat tertentu. Misalkan perbedaan antara budaya barat dan timur yang bersifat individualistic dan yang lainnya bersifat kolektif.Hubungan pertemanan dalam masyarakat kolektif lebih cenderung bertahan dalam jangka panjang, dan tidak individual serta mengikutsertakan berbagai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi untuk mempertahankan hubungan pertemanan (China, Indonesia, India).

    Kesenjangan Budaya dalam Pengembangan Hubungan

    Terdapat 3 (tiga) fase dalam proses membangun hubungan antar budaya diantaranya: fase initial attraction (tahap pengenalan awal), exploration (tahap eksplorasi lanjutan), danstabilization (tahap menstabilkan hubungan). Setiap budaya memiliki variasi dan cara nya masing-masing yang berbeda dan unik dalam setiap fase membangun hubungan tersebut.

    Hubungan di Seluruh Perbedaan

    Hubungan antar budaya melintasi seluruh perbedaan ini dapat didentifikasi 4(empat) variael berikut antara lain: dialektika hubungan antar budaya, berkomunikasi dalam hubungan antar budaya, pacaran dan pernikahan antar budaya, serta juga dalam hubungan permanen.

    Dialektika Hubungan Antar Budaya.Leslie A. Baxter menyebutkan bahwa adanya dialektika dalam hubungan menjelaskan bahwa hubungan tersebut bersifat dinamis.Ia mengidentifikasi beberapa dasar tensi dialektika dalam hubungan: sesuatu yang baru-meramalkan masa depan, otonomi-keterhubungan, dan keterbukaan-ketertutupan (Baxtery & Montgomery, 1996).

    Berkomunikasi dalam Hubungan Antar Budaya. Komunikasi adalah cara untuk berdialektika dalam konteks hubungan antar budaya. Kita harus memulai untuk memikirkan bagaimana cara yang tepat untuk melangsungkan komunikasi ketika kita sedang berada dalam lawan bicara yang berbeda latar belakang budaya dengan kita. Yang paling utama adalah bahasa.Bahasa memengaruhi pemikiran dan perilaku. Bahasa memengaruhi proses kognitif kita. Oleh sebab, bahasa-bahasa di dunia memiliki banyak keanekaragaman yang unik dari yang lainnya baik dalam hal karakteristik semantik maupun strukturnya, maka dapat juga disimpulan bahwa orang yang menggunakan bahasa yang berbeda juga akan berbeda dalam cara mereka memandang dan berpikir tentang dunia.

    Bahasa mencerminkan budaya.Makin besar perbedaan budaya, makin perbedaan komunikasi baik dalam bahasa maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal.Makin besar perbedaan antara budaya (dan, karenanya, makin besar perbedaan komunikasi), makin sulit komunikasi dilakukan.Semakin besar perbedaan antarbudaya maka semakin besar pula ketidak-pastian dam ambiguitas dalam komunikasi.Semakin besar perbedaan antarbudaya maka makin besar pula kesadaran diri (mindfulness)seseorang dalam komunikasi.Ini mempunyai konsekuensi positif dan negatif.Positifnya, kesadaran diri ini barangkali membuat kita lebih waspada.ini mencegah kita mengatakan hal-hal yang mungkin terasa tidak peka atau tidak patut. Negatifnya, ini membuat kita terlalu berhati-hati, tidak spontan, dan kurang percaya diri.

    Dalam komunikasi antarbudaya - seperti dalam semua komunikasi - kita berusaha memaksimalkan hasil interaksi.Tiga konsekuensi yang dibahas oleh Sunnafrank (1989) mengisyaratkan implikasi yang penting bagi komunikasi antarbudaya. Sebagai contoh, orang akan berintraksi dengan orang lain yang mereka perkirakan akan memberikan hasil positif. Oleh karena komunikasi antarbudaya itu sulit, kita mungkin saja menghindarinya.Maka tidak heran jika kebanyakan orang lebih memilih berbicara dengan rekan sekelas yang banyak kemiripannya daripadadengan orang yang sangat berbeda.

    Pacaran dan Pernikahan Antar Budaya.Pacaran dan Pernikahan merupakan tingkatan intim dalam hubungan intrapersonal dimana seseorang dengan pasangannya telah melewati ketiga tahapan berikut: penyerahan, kompromi dan konsensus. Namun, apabila hubungan ini dibangun berdasarkan ketimpangan latar belakang budaya di antara keduanya maka hal tersebut akan menjadi hambatan tersendiri dalam hubungan mereka. Cara menyikapinya bergantung pada sejauh mana pengetahuan pasangan terhadap yang lainnya serta toleransi dan kepekaan untuk mencari titik temu terhadap sebuah kesepakatan bersama sangat diperlukan untuk menjaga kelanggengan hubungan ini

    Hubungan Permanen. Meskipun terdapat banyak penghindaran bahkan perlawanan terhadap hubungan antar udaya, peningkatan jumlah pasangan yang menikah lintas ras dan garis etnis menjadi perhatian yang menarik sekarang ini.Dari keluarga ini dihasilkan lebih banyak anak-anak yang menantang ras baru dan stereotipe jender.

    Konteks dalam Hubungan Antar Budaya

    Pentingnya mempertimbangkan hubungan antar budaya dalam konteks dimana ia berada. Hubungan antara budaya konteks tinggi dan rendah, rentan terjadinya konflik karena adanya perbedaan budaya yang ada, dapat menimbulkan salah interpretasi dan menimbulkan salahpaham. Sikap atau karakteristik berbeda masing-masing individu dari konteks budaya dalam menyelesaikan konflik kesalahpahaman disebut dengan gaya konflik.Salah satunya dapat dilakukan dengan memahami dan mengetahui sejarah demi memahami interaksi dan hubungan antar budaya ini.



    [1] Ulasan tentang Chapter 10:Culture, Communication and Intercultural Relationshipini dikerjakan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Komunikasi Multikultural dengan dosen pengampu: Nur Idaman. Kelas Kamis pagi 07.00-09.30 WIB.

    [2] Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina Jakarta.


  4. Eksploitasi Ruang Privat dalam Media Massa Indonesia: Perspektif Etika dan Regulasi Media[1]


    Oleh: Sari Riantika Damayanti / 209000056[2]


    Abstrak

    Dalam budaya media, ruang privat dan ruang publik sulit untuk dibedakan. Pada ranah privat biasanya secara emosional kita akan menggerutu atau menunjukkan perasaan tidak suka jikalau ruang privasi kita dibawa ke permukaan. Oleh sebab itu, pembahasan mengenai privasi juga merupakan agenda penting. Tulisan ini akan membahas tentang bagaimana media massa mengambil posisi dalam penyusunan atau pembuatan berita yang bersentuhan dengan ranah privasi seseorang seperti pada tayangan reality show dan atau infotainment dilihat dari perspektif etika dan regulasi media.


    INTRODUKSI

    "...Rossa masih saja tertutup soal gandengan barunya. Bukan hanya enggan menyebut nama, mantan istri Yoyo Padi ini juga lebih suka pergi beramai-ramai ketimbang berdua dengan calon suaminya..." dikutip dari portal berita wowkeren.com.

    Kutipan berita tersebut adalah salah satu penggalan berita di media massa yang bersinggungan dengan ranah privasi seseorang terutama sering terjadi pada tokoh masyarakat (public figure) seperti artis, pejabat pemerintah, dan orang terkenal. Berita semacam ini merupakan salah satu karakteristik berita dalam infotainment.

    Dalam kebanyakan kasus bahkan diperkeruh oleh bentrok antara wartawan dengan tokoh masyarakat yang dikejar beritanya. Hal tersebut menandakan bahwa permasalahan privasi merupakan hal serius yang harus diperhatikan oleh seluruh wartawan khususnya di Indonesia. Permasalahan ini dapat ditanggulangi dengan pembatasan area wartawan melalui regulasi dan etika media.

    Infotainment sebenarnya adalah tayangan televisi yang menyajikan sebuah informasi dalam bentuk hiburan. Akan tetapi, di Indonesia infotainment telah berubah dari tayangan informasi tentang dunia hiburan menjadi tayangan informasi mengenai kehidupan pribadi para artis di dunia hiburan. Nugroho (2005) menuturkan dalam bukunya yang berjudul "Infotainment", terlepas dari akar kelahirannya di Barat, dimana infotainment sebenarnya berarti informasi yang disajikan sebagai hiburan. Di Indonesia istilah tersebut sudah berubah arti menjadi informasi mengenai dunia hiburan yang kemudian lebih spesifik lagi menjadi informasi mengenai kehidupan pribadi para artis di dunia hiburan.

    Namun tidak hanya infotainment, eksploitasi ruang privat juga sering terjadi pada tayangan reality show di televisi. Format reality show yang makin beragam saat ini semakin mereduksi ranah kebebasan privasi masyarakat.

    Pada awalnya, reality show pertama kali diproduksi oleh stasiun televisi Amerika Serikat, yang kemudian diadaptasi oleh berbagai negara, termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri fenomena reality show mulai merebak sejak sekitar tahun 2000. Mulai dari reality show pencarian bakat, seperti AFI (Akademi Fantasi Indosiar) yang ditayangkan di Indosiar, Indonesian Idol (RCTI), Idola Cilik ( RCTI), KDI (Kontes Dangdut TPI) yang disiarkan di TPI dan lain sebagainya, hingga bertema tentang percintaan seperti Kontak Jodoh (SCTV), Katakan Cinta (RCTI), Cinlok (SCTV), Playboy Kabel (SCTV), Pacar Pertama (SCTV), CLBK (SCTV) dan masih banyak lagi.

    Saat ini yang sedang menarik pemirsa televisi adalah reality show bertema kemiskinan seperti Jika Aku Menjadi (Trans TV), Minta Tolong (SCTV) atau Tangan Di Atas (Trans TV), serta penyelidikan kehidupan pribadi seseorang atau pencarian kerabat seperti Orang Ketiga (Trans TV) , Bukan Sinetron (Global TV), Masihkah Kau Mencintaiku (RCTI), Curhat bersama Anjasmara (TPI), Termehek-Mehek (Trans TV) dan sebagainya.

    Misalnya pada reality show Termehek-Mehek, program ini merupakan salah satu tayangan yang sangat potensial dalam mengeksploitasi ruang privasi orang lain yakni dengan format acara yang bertemakan masalah pribadi khususnya permasalahan rumah tangga atau hubungan pacaran seseorang. Lalu sejauh mana kebebasan privasi individu itu dibatasi atau dilindungi dalam media massa? Dan bagaimana pandangan berdasarkan etika dan regulasi media? Tulisan ini akan memaparkan fenomena media massa dalam mengusik ranah privasi orang lain misalnya dalam kasus reality show dan infotainment serta bagaimana kah etika dan regulasi media massa mengatur segala seuatu yang terkait dengan ranah privasi ini.


    PEMBAHASAN

    Jurnalisme dan Kebenaran

    Dalam masyarakat demokrasi yang kompleks, media menjalankan fungsi utama dalam mengatur arus informasi dan untuk menjangkau sesuatu yang tidak mereka jangkau seperti kebenaran, keakuratan, dan informasi yang berharga. Mereka juga menghalangi audiens mereka dari pembentukan intelektual.

    Pada dasarnya, kebenaran merupakan komoditas yang paling esensial dalam sebuah sistem demokrasi yang pada akhirnya akan melahirkan kepercayaan (trust). Kepercayaan ini merupakan sebuah tenaga penggerak bagi kehidupan sosial dan juga masyarakat sipil. Akan tetapi, berkebalikan dengan media yang merupakan dunia dengan kebenaran terbatas dan itu sebabnya hal ini harus ditopang dengan tanggung jawab atas hilangnya kemurnian informasi baik itu yang berupa kebenaran maupun kebohongan.

    Kebenaran adalah nilai yang paling fundamental yang dimulai dengan mengetahui makna dari oposisi binernya yakni kebohongan dan tipu daya. Tipu daya mengacu pada pesan komunikasi dirancang untuk menyesatkan orang lain, untuk membuat mereka percaya terhadap apa yang kita sendiri tidak percayai. Tipu daya tidak hanya berasal dari kata-kata tetapi juga dari perilaku, gestur, atau sikap diam sekalipun. Sedangkan kebohongan merupakan subkategori dari tipu daya dan menyangkut informasi yang salah dalam komunikasi bahwa komunikator mengetahui atau sengaja untuk berkata salah.

    Kant menyebutkan bahwa kebenaran adalah sebuah nilai universal yang harus dibawa untuk menyangga setiap kondisi, yang bagaimana pun juga adalah sebuah konsekuensi. Kebenaran adalah suatu hal yang esensial dalam proses demokrasi. Demokrasi bergantung pada sebuah informasi dari warga negara, salah satunya pendekatan politik dan ekonomi yang dipersenjatai oleh pengetahuan yang mengilhami kajian atau pertimbangan serius.

    Kebenaran dalam jurnalisme mempunyai tiga standar penting: pertama, cerita yang dilaporkan harus akurat, fakta harus diverifikasi terlebih dahulu berdasarkan bukti yang solid. Jika terdapat beberapa keraguan atau bantahan tentang fakta, hal itu pun juga harus dimunculkan kepada audiens. Kedua, sebuah kebenaran cerita harus memuat pemahaman. Waktu dan keterbatasan jarak menghalangi ketersediaannya sebuah pemahaman komprehensif terhadap situasi apapun. Cerita harus bermuatan informasi yang relevan yang bisa dimengerti oleh reader atau viewer paling tidak mengerti mengenai fakta atau konteks fakta yang disampaikan. Ketiga, kebenaran artikel harus menghasilkan pemahaman yang adil dan berimbang. Untuk menghindari bias, keadilan dan ke-berimbang-an mengharuskan jurnalis untuk memperkuat pemahaman khalayak terhadap isu.

    Jurnalisme dan Privasi

    Kerahasiaan pribadi atau dalam bahasa inggris yaitu privacy ialah kemampuan satu atau sekelompok individu untuk mempertahankan kehidupan dan urusan personalnya dari publik, atau untuk mengontrol arus informasi mengenai diri mereka. Privasi dapat dianggap sebagai suatu aspek dari keamanan.

    Mengapa nilai-nilai privasi ini penting? Alasannya adalah: pertama, kemampuan untuk menjaga kerahasiaan dari informasi personal yang merupakan karakteristik otonomi individual. Kedua, privasi dapat melindungi kita dari cacian dan hinaan oleh orang lain. Ketiga, privasi menghasilkan mekanisme dimana kita bisa mengendalikan reputasi kita. Ke empat, privasi bertindak sebagai pelindung melawan kekuatan pemerintah.

    Kemunculan konsep dari privasi ini disebutkan tidak memiliki akar sejarah yang jelas. Para antropolog mengatakan bahwa gagasan modern kita tentang privasi sudah ada sejak zaman masyarakat primitif dan kuno. Ini menyita waktu yang berabad-abad lamanya untuk menjadikan pembahasan mengenai privasi ini sebagai salah satu kajian yang harus diperhatikan, akan tetapi kita dapat menemukannya diapresiasi sekitar abad 17-an. Hingga pertengahan abad 20, belum ada hak legal untuk privasi di Amerika. Dari persetujuan bersama, gagasan kontemporer terhadap privasi sebagai konsep legal dimulai pada tahun 1890 dari sebuah publikasi artikel di Harvard Law Review. Dan kajian ini disinggung oleh 2(dua) orang pengacara, Samuel D. Warren dan Louis D. Brandeis, yang mengusung pengakuan legal terhadap hak orang untuk hidup mandiri. Disinggung atau dihina oleh koran gossip dan apa yang mereka lihat sebagai kekerasan atau pelanggaran terhadap norma kesusilaan dan kesopanan, penulis mengajukan kerugian moneter bagi masyarakat yang telah menahan diri untuk mengetahui urusan orang lain dan keingintahuan yang besar terhadap sebuah tekanan akan kebebasan tanpa kendali dan tanpa sesal.

    Privasi dan para jurnalis memiliki beberapa area permasalahan yang spesial. Beberapa area ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi beberapa bidang yang permasalahan etis diantaranya: pemberitaan mengenai penyakit menular dan penyandang cacat, homoseksualita, kekerasan seksual, remaja pelaku kejahata, penggunaan anak-anak sebagai sumber, bunuh diri, kamera atau recorder tersembunyi, tragedi kecelakaan, jurnalisme data base dan komputer.

    Berbagai situasi yang beraneka ragam dimana perhatian kita terhadap privasi ini dapat menghalangi identifikasi terhadap kriteria spesifik yang akan menampung setiap kontingensi.Akan tetapi, terdapat sedikitnya 4(empat) nilai moral yang harus ada sebagai landasan etika bagi praktisi media, antara lain: pedoman pertama yaitu didasarkan pada gagasan untuk menghomati orang lain sebagaiman diri sendiri hendak dihormati. Nilai kedua yaitu kegunaan sosial (social utility). Agen moral harus memutuskan apa informasi yang esensial atau sedikitnya bermanfaat bagi khalayak dalam membantunya memahami pesan komunikasi. Prinsip yang ketiga adalah didasarkan pada gagasan keadilan dan yang terakhir dalam situasi pengambilan keputusan akan mungkin terjadi persinggungan yang dapat mengganngu orang laun atau membuat mereka tidak nyaman mengenai urusan pribadi mereka, sebagai agen moral hendaknya dapat berusaha untuk meminimalisasikan kemungkinan negative tersebut.

    Media dan Pelanggaran Ruang Privat

    Anggota Dewan Pers, Uni Lubis, menilai masalah privasi termasuk paling sering dilanggar oleh media massa dalam meliput peristiwa terkait korban kejahatan asusila. (Rahmat, 2012)

    Penggusuran nilai privasi yang dilakukan oleh media massa bukan fenomena yang satu atau dua kali terjadi. Kasus semacam ini bukan hanya terjadi di dalam negeri. Di Amerika serikat misalnya beberapa kasus pernah mencuat soal nilai privat oleh media. Tahun 2000, televisi NBC menyiarkan secara detil proses screening tes kanker payudara. Juga pada tahun yang sama, televisi ABC menyiarkan secara langsung seorang wanita menjalani persalinan. Media cetak pun tak mau ketinggalan, pada saat kasus Clinton mencuat, media di AS bahkan menjelaskan secara detil pengakuan sumber tentang penis sang presiden, bahkan dalam bentuknya ketika organ tersebut "in action".

    Menurut Louis Alvin Day dalam bukunya yang berjudul "Ethics in Media Communication (2006: 132), mengatakan bahwa invasi privasi oleh media meliputi spektrum yang luas, mulai dari reporter, hingga pengiklan. Pengiklan mengubah persoalan etik menjadi persoalan ekonomi. Dalam kondisi persaingan media yang semakin ketat, proses invasi tersebut merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Namuun demikian, tetap saja hal tersebut menimbulkan dilema antara media dan audiens.

    Setiap orang yang merasa hak privasinya dirampas oleh beberapa oknum yang tidak bertanggung jawab maka ia berhak untuk mengajukan gugatan yang dikenal dengan istilah Privacy Tort. Sebagai acuan untuk mengetahui bentuk-bentuk pelanggaran privasi dapat diidentifikasi dari catatan William Prosser pada tahun 1960 yang memaparkan hasil penelitiannya terhadap 300-an gugatan privasi yang terjadi. Pembagian dilakukan rosser atas bentuk umum peristiwa yang sering dijadikan dasar gugatan privasi terkait dengan media. Adapun bentuk-bentuk pelanggaran privasi adalah sebagai berikut:

    1. Intrusion, yaitu tindakan mendatangi atau mengintervensi wilayah personal seseorang tanpa diundang atau tanpa ijin yang bersangkutan. Tindakan mendatangi dimaksud dapat berlangsung baik di properti pribadi maupun di luarnya.

    2. Public disclosure of embarassing private facts, yaitu penyebarluasan informasi atau fakta-fakta yang memalukan tentang diri seseorang. Penyebarluasan ini dapat dilakukan dengan tulisan atau narasi maupun gambar.

    3. Publicity which places someone false light in the public eye, yaitu publikasi yang mengelirukan pandangan orang banyak terhadap seseorang.

    4. Appropriation of name or likeness, yaitu penyalahgunaan nama atau kemiripan seseorang untuk kepentingan tertentu. Peristiwa ini lebih terkait pada tindakan pengambilan keuntungan sepihak atas ketenaran seorang selebritis. Nama atau kemiripan si selebritis dipublikasikan tanpa izin.

    Infotainment dan Reality show: Eksploitasi Ruang Privat

    Sejarah infotainment di Indonesia dalam keterangan salah seorang wartawan “Minggu Pagi” yaitu Bp A B Pras, dimulai pada tahun 1929. Pada tahun itu sudah terbit media yang menyajikan tulisan-tulisan tentang dunia film serta artis-artis, yaitu Doenia Film, Majalah ini terbit di Jakarta. Pemberitaan infotainment dalam era tersebut terus berkembang hingga sekarang, bahkan di era sekarang ini kita dapat melihat bermacam-macam infotainment baik dalam produk media cetak, maupun dalam media elektronik. Pemberitaan infotainment yang banyak dikupas oleh media massa yaitu diantaranya adalah kasus perceraian, kasus perselingkuhan, dan kasus-kasus yang lainnya yang ada dalam kehidupan pribadi para selebritis.

    Jika kita merujuk pada salah satu fungsi pers, maka banyak isi tayangan infotainment sangat bertentangan dengan nilai-nilai education (pendidikan). Jika masyarakat tidak siap bersikap dewasa dan menganggapnya sebagai sekadar bagian dari dunia hiburan, fenomena itu memang bisa berbahaya, sebab dari sanalah para remaja gampang menemukan contoh dan 'keteladanan' yang bersifat negatif. Melihat dari keterangan di atas, maka wartawan menjadi faktor terpenting dalam sebuah pemberitaan. Pemberitaan yang dilakukan oleh seorang wartawan memiliki aturan-aturan sendiri. Seperti halnya wartawan lain, wartawan infotainment juga memiliki aturan yang sama dengan wartawan umum lainnya. Kode etik juralisistik khususnya dalam organisasi Persatuan 35 Wartawan Indonesia (PWI), yang menyangkut tentang tata cara pemberitaan cukup banyak, yaitu dalam pasal 5, 6, 7, 8, dan 9, yang menyebutkan sebagai berikut :

    Pasal 5

    Wartawan Indonesia menyajikan berita secara berimbang dan adil, mengutamakan kecermatan dari kecepatan serta tidak mencampur-adukan fakta dan opini sendiri.Tulisan berisi interpretasi dan opini wartawan agar disajikan dengan menggunakan nama jelas penulisnya.

    Pasal 6

    Wartawan Indonesia menghormati dan menjunjung tinggi kehidupan pribadi dengan tidak menyiarkan berita, tulisan, atau gambar yang merugikan nama baik atau perasaan susila seseorang, kecuali menyangkut kepentingan umum.

    Pasal 7

    Wartawan Indonesia dalam pemberitaan peristiwa yang diduga menyangkut pelenggaran hukum dan atau proses peradilan harus menghormati asas praduga tak bersalah, prinsip adil, jujur, dan penyajian yang berimbang.

    Pasal 8

    Wartawan Indonesia dalam memberitakan kejahatan susila tidak menyebut nama dan identitas korban. Penyebutan nama dan identitas pelaku kejahatan yang masih dibawah umur, dilarang.

    Pasal 9

    Wartawan Indonesia menulis judul yang mencerminkan isi berita. Berita infotainment yang diperoleh seorang wartawan tidak boleh dicampur-adukkan antara fakta dan opini sendiri serta disajikan secara berimbang dan adil, hal ini sesuai dengan pasal 5 Kode etik Jurnalistik Wartawan Indonesia.

    Demikian juga halnya dengan program reality show yang banyak mengeksploitasi ruang privat individu, tidak hanya reality show termehek-mehek masih banyak deretan tayangan reality show yang lain yang sangat menonjolkan sisi tidak etis dari seseorang untuk dikomodifikasikan menjadi bahan tayangan misalnya reality show hiptotis Uya Emang Kuya yang berusaha membongkar ruang privat khalayak ke muka publik dengan cara menghipnotisnya.

    Etika Media Komunikasi

    Ketika kita berbicara mengenai etika media, kita difokuskan dengan standar etika dari pekerja media dan tindakan apa saja yang mereka ambil. Pada dasarnya, kebebasan berekspresi memang merupakan hak asasi, namun tidak lantas dilupakan bahwa secara turun-menurun manusia juga membawa nilai-nilai yang tetap harus dipertahankan untuk menjaga kelanggengan dalam relasi sosialnya. Apalagi dalam aktivitas bermedia yang lingkup khalayaknya lebih luas daripada sekedar hubungan interpersonal sehingga para pekerja media harus serius memperhatikan apa yang ditampilkan dan apa yang tidak dengan landasan etika yang selama ini dipegang.

    Satu hal yang harus diketahui bahwa etika adalah telaah tentang apa yang pantas kita lakukan. Etika harus diterapkan dalam aktivitas dan kebiasaan kita sehari-hari dan etika ini lahir dari dalam pribadi masing-masing individu walaupun hal ini berkaitan dengan relasi sosial antara kita dengan peraturan dan kebiasaan orang lain. Kesadaran terhadap etika merupakan hal penting selama ini mendorong orang untuk menghargai komitmen dan memikirkan tindakan alternatif. Pemahaman terhadap etika ini sendiri terkandung dalam dua pokok:

    1. Komunikator massa kebanyakan difokuskan dengan pengambilan isyarat-isyarat etika (ethical cues) dari masyarakat, dari teman sejawat dan dari komunitas, atau

    2. Komunikator massa dapat menekankan peningkatan etika personal dan kemudian menangguhkan prioritas komunitas memperkenalkan lingkup dari etika-etika media adalah sebuah cabang dari filsafat untuk membantu para jurnalis dan media publik lain menentukan bagaimana bertingkah laku dalam pekerjaan mereka. Ini harus diingat bahwa tanpa kebebasan dan kewarasan pikiran, etika tidak berarti apa-apa bagi seseorang dan mustahil untuk dianggap serius sebagai subjek kajian.

    Hukum dan etika media komunikasi merupakan peraturan perilaku formal yang dipaksakan oleh otoritas berdaulat, seperti pemerintah kepada rakyat atau warga negaranya.

    Dalam ranah media massa, ada beberapa regulasi yang mengatur penyelenggaraan dan pemanfaatan media massa. Selain undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang dibuat oleh lembaga legislatif ataupun pemerintah tersebut, perlu adanya pedoman berperilaku lain yang tidak memberi sanksi fisik, baik berupa penjara atau denda, namun lebih pada sanksi moral untuk mengatur manusia dalam berinteraksi dengan media yang memiliki aspek yang kompleks berupa etika.

    Etika adalah pedoman atau aturan moral untuk situasi-situasi dimana media memiliki efek negatif dan hukum tidak bisa menjaga tingkah laku. Kode etik kebanyakan diciptakan oleh organisasi profesional. Etika adalah peraturan moral yang menuntun tingkah laku seseorang. Para pendidik yang memainkan peran yang penting dalam menerapkan etika. Etika merupakan komponen yang penting dalam pendidikan jurnalisme.

    Di dalam jurnalisme terdapat beberapa etika yang harus dipatuhi yaitu akurasi, keadilan, kerahasiaan, privasi. Saat ini informasi yang disajikan oleh media telah berubah menjadi komoditi dan mimetisme. Berkat media, budaya baru telah terbentuk dan masyarakat telah berubah karenanya. Mengatasi keseimbangan antara tugas membimbing masyarakat lewat program-program yang disuguhkan kepada masyarakat dan pemenuhan tugas sebagai alat produksi ekonomi. Media pun membangun citra (image) sebagai kebutuhan masyarakat dan juga pencapai kebutuhan ekonomi baginya. Yang menjadi masalah yaitu sikap dari masyarakat yang tidak menunjukkan adanya perlawanan atas bentuk program yang ditawarkan oleh media sehingga media perlu membawa etika dan menerapkan dampak di dalam masyarakat yang harus dilindungi dan mengurangi adanya penyalahgunaan dari dampak negatif media itu sendiri.

    Jurnalis dan Kompetensi

    Segala sesuatu yang berkaitan dengan pemberitaan di media massa merupakan sumbangsih dari pekerja media yang dikenal dengan sebutan pers atau wartawan. Mereka mencari dan menyusun informasi yang didapat hingga mempunyai nilai berita. Untuk itu, pers mempunyai pengaruh yang hebat dalam masyarakat karena tindakannya bisa mempengaruhi opini publik. Oleh karenanya, kualitas wartawan sangat dibutuhkan yang pada akhirnya akan menentukan kualitas masyarakat juga sehingga kompetensi wartawan sangat diperlukan sebagai salah satu syarat peningkatan kualitas pemberitaan.

    Wakil Ketua Dewan Pers, Sabam L. Batubara dalam diskusi “Standar Kompetensi Wartawan” di Pontianak pada awal Mei 2007 pernah mengatakan bahwa masyarakat yang cerdas terbentuk dari wartawan (baca juga: jurnalis) yang cerdas. Sementara itu, wartawan yang cerdas ada jika standar kompetensi wartawan tercapai. Berdasarkan Rumusan Dewan pers (Luwarso dan Gayatri, 2006) ada setidaknya tiga kategori kompetensi yang harus dipunyai seorang jurnalis antara lain:

    1. Kesadaran (awareness), yakni mencakup kesadaran tentang etika, hokum dan karir.

    2. Pengetahuan (knowledge), yakni mencakup pengetahuan umum dan pengetahuan khusus sesuai bidang kewartawanan yang bersangkutan.

    3. Keterampilan (skills), yakni mencakup keterampilan menulis, wawancara, riset, investigasi, menggunakan berbagai peralatan seperti computer, kamera, mesin scanned, faksimili, dan sebagainya.

    Berdasarkan yang dikemukakan The Poynter Institute, sebuah lembaga kajian media di Amerika, kompetensi jurnalis bisa digambarkan dalam sebuah bagan dengan nama “Piramida Kompetensi” sebagai berikut:

    Kesadaran yang dimaksud di sini adalah kesadaran yang harus dimiliki jurnalis dalam setiap tindakan jurnalistiknya itu akan dipengaruhi hukum, etika dan norma-norma artinya jurnalis juga memiliki batasan untuk mewujudkan profesionalitas kerja. Dalam kesadaran etika diharapkan perilaku jurnalis akan mengacu pada kode etik yang berlaku. Ini bisa dilakukan dengan banyak membaca referensi, studi kasus dan latihan membuat keputusan, serta menimba pengalaman dari wartawan senior dan pakar-pakar etika dan juga dengan mengamati perilaku etis dan tidak etis. Untuk meningkatkan kompetensi etik jurnalis Indonesia perlu mendalami Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), Kode Etik Organisasi-Organisasi Wartawan, dan Kode praktik dan perilaku perusahaan media. Dalam kesadaran hokum, seorang jurnalis juga harus berpegang teguh pada Undang-Undang Pokok Pers No. 40 Tahun 1999.

    Seorang jurnalis juga diharuskan memiliki kompetensi pengetahuan.baik pengetahuan umum, pengetahuan khusus hingga pengetahuan teknis serta memahami teori-teori jurnalistik dan komunikasi. Jurnalis juga diharuskan memiliki keterampilan seperti keterampilan reportase / peliputan, riset, penggunaan alat dan teknologi informasi serta mampu melakukan analisis dan menentukan arah pemberitaan.


    KESIMPULAN

    Batasan antara ruang privasi dan ruang publik seringkali dikaburkan oleh media massa. Mereka kerap menjadikan isu-isu pribadi seseorang menjadi isu kontemporer untuk dibincangkan oleh masyarakat luas. Padahal tiap-tiap individu memiliki hak kerahasiaan pribadi atau privasi yang juga dilindungi oleh negara.

    Gugatan untuk kasus pelanggaran privasi dapat dilakukan apabila problematika tersebut mencakup hal-hal berikut: mengintervensi wilayah personal, menyebarluaskan informasi memalukan, mempublikasikan pandangan yang keliru dan menyalahgunakan nama atau kemiripan untuk kepentingan tertentu.

    Media massa sebagai agen sosialisasi publik hendaknya memperhatikan hal sensitif ini dengan membekali para professional media dengan kompetensi antara lain kompetensi kesadaran, pengetahuan dan keterampilan. Dengan kesadaran, para jurnalis diharapkan menyadari dan berpegang teguh pada etika dan regulasi yang ada, mereka pun diharapkan untuk memiliki pengetahuan umum dan khusus yang mapan serta memahami teori-teori jurnalistik dan komunikasi serta memiliki keterampilan teknis. Apabila hal tersebut terpenuhi maka permasalahan mengenai privasi dan timpang tindih perilaku media massa dalam masyarakat bisa teredam dengan baik.



    [1] Tulisan ini adalah Tugas Mandiri yang dikerjakan penulis untuk memenuhi Ujian Akhir Semester Gasal Tahun Pelajaran 2011/2012 mata kuliah “Hukum dan Etika Media Massa” dalam program sarjana yang ditempuh penulis di peminatan Kajian media, Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina Jakarta. Dosen: Idham Holik.

    [2] Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina Jakarta.